57

5.5K 335 10
                                    

"Rei mami udah pulang."

"Mami udah gak dirumah sakit lagi?"

"Iya, mami udah pulang ke rumah." Entah kenapa suara Rio terdengar lirih, bukankah ini sebuah kabar gembira?

"Rei jadi gak sabar mau pulang. Nanti pas pulang sekolah Rei langsung pulang. Sebenarnya sih Rei mau bolos." Girang Amorei.

"Hati-hati ya dijalan nanti."

Amorei mengangguk walaupun disebrang sana Rio tidak akan melihatnya. "Iya papi."

"Papi boleh ngomong sama Abim?"

Amorei memberikan ponselnya saat itu juga pada Abim. Dia menatap Abim yang tampak serius berbicara dengan papinya. Amorei menggoyang-goyangkan kakinya sambil tersenyum.

"Kita pulang sekarang ayok." Ajak Abim mengantongi ponsel Amorei.

"Emang boleh?" Tanya Amorei semangat. Gadis itu sudah tidak sabar melihat maminya kembali lagi ke rumah.

"Boleh." Abim mulai menggenggam tangan Amorei erat. Kini mereka sudah berada diperjalan pulang ke rumah Amorei.

Sedari tadi genggaman tangan keduanya tidak terlepas. Abim seolah tidak ingin melepasnya sedetik pun.

Abim menguatkan hatinya saat mobil yang dikendarainya sebentar lagi sampai didepan rumah Amorei. Sementara Amorei mulai merasa ada yang berbeda dari rumahnya.

Bendera kuning berterbangan tertiup angin didepan rumahnya dan juga banyak papan bunga yang berjejer disana. Amorei menggeleng seolah apa yang dia pikirkan sekarang tidak benar.

Tanpa berlama, Amorei memaksa melepaskan genggamannya dan mulai berlari keluar. Amorei berdiri mematung dihalakan rumahnya.

Banyak orang yang menatapya dengan tatapan kasihan. Amorei tidak butuh itu semua.

"Rei." Panggil Abim.

Panggilan itu sama sekai tidak dihiraukan Amorei. Ia masih mencerna apa yang telah terjadi sekarang. Kakinya berlari memasuki rumahnya tergesa-gesa.

Jantung Amorei seolah berdetak tidak karuan. Amorei berkali-kali menetralkan deru nafasnya yang tidak seperti biasa.

"Rei ikhlas ya. Mami pasti udah bahagia disana." Salah satu kerabat Amorei memeluk dirinya. Pecah sudah tangisnya, Amorei meraung-raung tidak terima. Amorei mendekat menuju Rio yang duduk didekat seseorang yang sekarang sudah tertidur selamanya.

Sosok yang selalu Amorei butuhkan. Sosok yang paling mengerti dirinya. Sosok yang tidak akan pernah tergantikan.

Amorei berteriak. "MAMIII!" Amorei memeluk maminya dengan erat. Seolah mengharapkan adanya balasan seperti biasanya. "Kok mami gak bales pelukan Rei? Mami kok ninggalin Rei? Rei disini mami..."

Semua orang mengalihkan pandangannya kearah lain, tidak kuat melihat sosok seorang anak yang rapuh ketika tahu bahwa ibunya sudah tiada. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita itu akan pergi secepat ini.

"Mami ini Rei." Rasanya dunia Amorei sudah runtuh mulai saat ini. Dunianya sudah pergi.

Disamping Amorei, Rio mulai memeluk putrinya. Tangannya mengusap kepala Amorei. Sedari tadi juga Rio menahan tangisnya. Rio memejamkan matanya saat tidak kuat mendengar suara Amorei yang terus memanggil maminya.

"Rei, mami udah gak sakit lagi sekarang. Mami udah tenang, jadi sekarang Rei harus ikhlas ya." Ucap Rio.

Amorei menangis pilu membuat matanya mengeluarkan air mata terus menerus. Rio terus menerus menenangkan putrinya.

Abim datang, dia duduk disamping keduanya. Cowok itu mengusap pundak Rio untuk menguatkannya. "Abim tau papi kuat."

"Papi harap." Balas Rio.

Semua kenangan bersama Gina terus berputar dikepala Amorei. Semuanya hanya kenangan mulai sekarang dan dia tidak sanggup untuk itu.

"Mami kok gak mau ngusap air mata Rei?"

"Mami bales pelukan Rei dong."

"Kok mami diem aja? Rei tau mami cuman lagi tidur siang kan."

Suara parau Amorei membuat siapa saja yang mendengarnya akan ikut merasakan kesedihannya. Abim mendekat kearah Amorei dan ikut memeluk cewek itu juga.

"Udah ya princess. Nanti mami ikut sedih kalo liat Rei kayak gini." Suara Rio terdengar sangat lirih.

Amorei menggeleng sambil menangis. "Mami pasti mau bohongin Rei doang. Sebentar lagi kan Rei ulang tahun. Jadi mami mau buat kejutan."

Rio menggeleng pasrah. Air mata yang sedari ditahan akhirnya mengalir. Dia pun sama dengan putrinya. Sama-sama tidak sanggup ditinggal oleh dunia mereka.

Abim mengelus rambut Amorei. "Jangan gini Rei." Lembut Abim.

Sesuai mengatakannya Abim menarik Amorei kedalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menumpahkan semua tangisnya.

Keluarga besar Rio dan Gina semua berada disana. Mereka ikut membantu mengurus semua keperluan yang dibutuhkan. Karin yang berada disana juga sangat ikut merasakan sedih yang luar biasa. Karin sebagai dokter yang menangani Gina merasa sangat gagal. Tapi siapa pun tidak ada yang bisa melawan takdir.

Karin mengusap air matanya saat terus menerus menetes. Karin tidak kuat melihat Amorei yang sangat terpuruk. Semua janjinya pada cewek cantik itu tidak bisa dia tepati.

"'Mami bangun. Rei bentar lagi ulang tahun. Rei cuman mau mami bangun sekarang." Ucap Amorei dengan suara yang terdengar bergetar. "Bangun mami..."

Beberapa saat berlalu, Gina harus segara dibawa membuat Amorei semakin tidak mau melepaskan maminya.

"Gak boleh. Mami cuman tidur. Mami lagi mau ngasih kejutan buat Rei." Tangis Amorei.

"Sayang gak gini." Suara Abim terdengar putus asa.

Amorei menggeleng. "Enggak Abim. Mami cuman mau buat kejutan buat Rei."

"Mami ayok bangun. Rei gak butuh kejutan. Serius deh." Lanjut Amorei.

Orang-orang yang sudah bertugas membawa Gina menunggu perkataan Rio. Rio mengkode untuk segera saja melakukannya.

Rio memeluk Amorei saat putrinya itu memberontak tidak ingin berjauhan dengan Gina. "Lepas papi. Itu mami mau dibawa kemana?" Amorei menangis tersedu-sedu.

"Princess tenang."

"MAMIIIIIII." Teriak Amorei pilu.

Dunianya sudah pergi. Pelangi sudah pergi. Seorang ibu yang selalu menemaninya kini sudah pergi. Tidak ada lagi yang akan memasak makanan kesukaannya. Tidak ada lagi yang akan menunggunya saat pulang sekolah. Tidak ada lagi yang akan menasihtainya dengan lembut.

Semuanya telah pergi. Dan kini hanya ada kenangan yang tersisa disana.

TBC

AMOREI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang