Slowly Falling | [2]

101K 13.1K 1.6K
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alura Mia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alura Mia


***


Sejak dulu, sejak dia belum mengerti apa-apa, di setiap hari ulang tahunnya, dia selalu mendengar orang-orang di sekelilingnya berpesan, "Jadi anak baik ya Alura, jadi anak pintar dan berbakti sama orangtua."

Dan juga hari itu. Alura si gadis kecil berusia delapan tahun, dengan mata sembab karena menangis tanpa henti di samping pusara ibunya, dikepung ucapan yang sama, berkali-kali, "Jadi anak baik ya, Nak. Jadi anak pintar. Harus nurut sama Papa."

Alura tidak terlalu mengerti pesan-pesan itu, tapi semua yang didengar seperti mantera, berhasil membawanya tumbuh sampai dia menjelma menjadi Alura Si Baik, Si Pintar, dan Si Penurut versi orang-orang di sekelilingnya.

Benar, dia berhasil mewujudkan doa-doa itu.

Bahkan, tepat di peringatan tiga bulan kepergian Mama, saat Papa mengenalkan Tante Rea ke hadapannya sebagai istri baru, Alura merasa tidak berhak untuk marah. Lebih dari itu, saat Papa mengenalkan seorang gadis kecil berusia empat tahun bernama Liora Keisha yang merupakan buah hati dari pernikahannya dengan Tante Rea ... Alura tidak memberikan reaksi apa-apa.

Alura Si Baik.

Di usianya yang saat itu baru menginjak delapan tahun, sudah bisa menyimpulkan sendiri bahwa selama ini, sejak Mama masih hidup, Papa sudah menikah dengan Tante Rea dan memiliki anak gadis bernama Liora. Dan ... dia tidak bertanya 'kenapa?'. Bukankah tindakan Papa itu jahat? Bukankah keputusan Papa itu menyakiti Mama?

Alura Si Penurut.

Dia menerima saja ketika Papa membawa Tante Rea dan Liora ke dalam rumah yang jejak dukanya masih basah. Diam saja saat foto-foto Mama diturunkan dan dipindahkan ke gudang belakang. Lalu menangis diam-diam di balik gudang sampai malam jika merindukan sosok Mama, tanpa perlu risau akan ada yang mencarinya.

Alura Si Pintar.

Tetap menjadi juara kelas di antara duka dan luka yang sesak tanpa jeda.

Dan, Alura Si Malang.

Yang kini duduk di sofa sambil memeluk lutut karena tidak berbuat apa-apa ketika seorang pria yang selama sepuluh tahun ini menjanjikan segalanya, justru meninggalkannya begitu saja.

Kenapa pesan-pesan itu menekannya terlalu serius? Menjadi orang baik itu tidak sulit, yang sulit justru menghargai mereka yang baik. Menjadi penurut itu mudah, tapi itu justru membuatnya tidak memiliki kemampuan menuntut.

Satu pesan yang tidak didengarnya dari orang lain hari itu, adalah pesan yang disampaikan Mama. Bibir pucatnya yang gemetar berkata dengan suara pelan dan terbata-bata, "Hidup dengan bahagia ya, La. Janji ... sama Mama."

Terlalu terdengar sederhana. Namun malah menjadi satu-satunya yang ternyata sulit dilakukan. Dan di sini akhirnya dia sampai. Di sebuah titik gelap. Di mana hanya ada dia dan pilu yang memerangkap.

Alura memeluk tubuhnya sendiri, semakin erat. Mengulas bayang-bayang masa lalu, membawanya menemui dirinya sendiri pada masa-masa itu. Menemui Alura di usia delapan tahun saat diringgal Mama, menemui Alura di usia sepuluh tahun yang mesti melakukan operasi usus buntu sendirian karena Papa masih di luar kota untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan, menemui Alura di usia lima belas tahun saat merayakan ulang tahun sendirian dalam keadaan mati lampu, menemui Alura di usia delapan belas tahun saat berangkat kuliah ke luar negeri dan meninggalkan orang-orang yang dia sayang, menemui Alura di usia dua puluh empat tahun yang baru saja dicampakkan kekasihnya dan menangis sendirian.

Mengulas bayang masa lalu, sama saja dengan menemui luka-luka lama ternyata. Alura dan dirinya sendiri. Sedih dan bahagianya jarang yang peduli.

Alura ... kenapa kamu menyedihkan sekali? Segalanya.

Pelukannya mengerat, air matanya yang berderai tertahan rok yang menutup lutut. Isak lemahnya akan berubah menjadi erangan kecil sesekali. Begitu terus. Entah kapan segalanya akan reda, karena menghentikan tangis saat ini di luar kuasanya.

Dia tidak merasa harus melihat jam dinding untuk memastikan waktu, entah satu atau dua jam sejak Kaivan meninggalkannya sendirian di sana, penampilannya masih sama. Lekuk kemejanya bahkan sudah terlihat sangat lelah, roknya kusut dan basah oleh air mata, stiletto masih tergeletak di depannya.

Lalu, sebuah suara terdengar.

Ada seorang di luar yang sekarang sedang berusaha masuk ke apartemennya. Suara digit-digit password pintu terdengar ditekan, memberi tanda bahwa orang di luar sana tahu betul susunan angka yang bisa membuat pintu terbuka.

Seingatnya, hanya Kaivan dan dirinya sendiri yang tahu password pintu apartemennya. Tidak ada lagi.

Jadi ....

Apakah Kaivan kembali?

Dia berubah pikiran?

Dia ... hanya mengucapkan sebuah lelucon tadi dan berniat memberikan Alura sebuah momen mengejutkan?

Atau ....

Alura menoleh, melihat sosok yang kini berdiri dua langkah di depan pintu. "Gue disuruh ... Kaivan untuk ...." Dia terlihat ragu, lalu memilih tidak melanjutkan kalimatnya. "Gue tahu ini bukan waktu yang tepat untuk tanya keadaan lo, tapi ... Ra, hei? Okay?"

***




Siapa dia?

Sampai sini. Gimana?

 Gimana?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Slowly FallingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang