6. Tabib Yen

31K 3.7K 75
                                    

Jangan sungkan berkomentar, apalagi ketika melihat typo di ketikan saya ini. Ekekekek:v

______
"Sini lo!"

Gadis berambut panjang sepinggang itu langsung menarik kerah kemeja Anna. Membuat tubuh mungil Anna terseret hingga jatuh tersungkur di tanah depan kos.

Anna meringis, merasakan nyeri luar biasa pada lutut.

"Apa-apaan sih, lo?!" tanya Anna marah, ia menelan saliva susah payah ketika melihat lututnya berdarah.

"Lo yang apa-apaan, hah? Kemarin lo pulang sama Exel, kan? Ngaku gak lo!"

Anna langsung terbelalak kaget, ia tak menyangka gadis di depannya ini adalah pacar Exel. Ralat, calon pacar Exel yang tidak dianggap kenapa dia bisa berbuat semena-mena pada Anna.

"Emang kenapa kalau gue balik sama Exel? Lo cemburu? Emang lo siapanya, hah?" Bukan Anna namanya kalau tidak berani membela diri.

Miskin bukan berarti mudah ditindas.

Caini langsung berdecak kesal, menatap Anna penuh kebencian. Ingin sekali ia menyumpal mulut yang sok itu. "Ingat, ya. Ini baru awal, besok-besok gue liat lo bareng Exel lagi. Bukan cuma lutut lo yang gue buat berdarah, tapi mulut lo bakal ikut berdarah juga!" ancamnya, lalu pergi begitu saja tanpa merasa bersalah telah melukai Anna.

Anna meringis lagi, kedua lututnya benar-benar sakit sekali. Dengan sekuat tenaga Anna berusaha kembali masuk ke kos untuk mengobati lukanya.

Berulang kali gadis itu mengumpat saat membersihkan lukanya lebih dulu sebelum ditaruh alkohol. "Kurang ajar tuh Caini, lihat aja bakal gue balas lo," ketus Anna.

Setelah selesai mengobati lukanya, Anna memilih merebahkan tubuh di kasur. Memejamkan mata untuk melupakan sejenak rasa sakit di kedua lututnya.

.
.
.

"Sayang, bangunlah. Kau belum makan." Suara lembut itu menyapa lembut telinga Anna, embusan napas terasa hangat menyentuh pipinya.

Anna menguap lebar, entah bagaiman lebarnya ia sudah tak peduli. Ayolah, Anna bahkan baru memejamkan mata sebentar masa harus bangun lagi.

"Anna," panggilnya sekali lagi, kali ini tangannya mengusap lembut pipi Anna.

Anna langsung tersentak kaget saat merasa tangan besar itu menangkup pipinya. "Aaaaakh!"

Anna berteriak histeris dan refleks melompat dari kasur, rupanya separuh gaun ditindih oleh Atlantic, hingga tubuhnya jatuh tersungkur di lantai. Anna langsung meneteskan meringis, meneteskan air mata merasakan sakit luar biasa pada kedua lututnya.

"Anna!"

Dengan sigap, Atlantic langsung meraih tubuh mungil Istrinya. Menggendong Anna dengan mudah, lalu kembali meletakkan gadis itu di atas ranjang. "Kenapa kau melompat?!"

Anna hanya menangis, sembari terus berusaha menyingkirkan kain agar tidak bergesekan dengan lututnya. "Lutut gue sakit bego!" teriak Anna sesenggukan.

Atlantic langsung mebantu Anna menyibak gaun itu, hingga bagian betis dan lututnya terekspos begitu saja. Atlantic langsung meneguk saliva melihat betapa mulusnya sepasang kaki mungil itu.

"Dasar mesum!" Sebuah pukulan kecil langsung mendarat di dada bidang milik Atlantic.

Bukannya minta maaf, Pangeran Atlantic justru nyengir. "Kau ini bicara apa, Anna. Kau malu? Padahal aku sudah melihat lebih dari ini. Jadi, melepas seluruh pakaian pun tidak masalah," ujar Atlantic dengan santainya.

"Kurang ajar! Cepetan panggil Dokter, kaki gue bisa diamputasi kalau lo cuma godain gue mulu, mau istri lo jadi buntung, hah!" Anna benar-benar murka sekarang. Tak peduli bagaiman bentuk wajahnya sekarang yang berlumuran keringat dan air mata.

Atlantic langsung mengernyitkan dahi, menatap Anna tidak mengerti sama sekali. "Kau mengatakan apa, Sayang?" tanyanya dengan polos.

"Ya Tuhan, cabut saja nyawa tetanggaku. Pangeran yang tampan apa kau ikhlas jika kaki istrimu ini dipotong? Kau mau, hah?!"

"Panggilan Tabib kerajaan, cepat!"

Barulah suara bariton bercampur serak itu mengudara, membuat beberapa pelayan kelabakan berlarian di lorong kerajaan untuk mencari tabib.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya berjalan masuk ke kamar. Jenggot putih yang hampir menyentuh dada itu membuat Anna bergidik ngeri. "Dia lebih mirip Santa," celetuk Anna.

"Tolong periksa keadaan Istri saya, dia mengalami luka pada kedua lututnya," titah Atlantic.

Pria tua itu hanya mengangguk pelan, lalu mulai meletakkan tas kayu yang berisi banyak sekali ramuan dan tumbuhan yang sama sekali tidak Anna kenal.

"Bisakah Pangeran meninggalkan kami berdua? Saya tidak ingin Tuan kasihan pada saat saya mengobati lukanya, karena ini akan sedikit menyakitkan," pinta tabib Yen.

Atlantic seperti menimang-nimang jawaban, tetapi ia sudah cukup kenal lama dengan Tabib Yen. "Baiklah, aku akan menunggu di luar."

Setelah Atlantic benar-benar keluar dari kamar itu, Tabib Yen mulai ambil alih. Meracik beberapa obat herbal untuk dibubuhkan di luka Anna.

"Aw, pelan-pelan dong. Ini manusia bukan bahan percobaan," celetuk Anna kesal, pria tua sialan itu sangat kasar.

"Ekhm. Sepertinya Tuan Putri membawa luka dari dunia lain," ucapnya begitu misterius.

Luka dari dunia lain?

Anna bungkam, netranya menatap pria itu menyelidiki. Apa dia tau Anna bukan berasal dari dunia mereka?

"Lukanya akan segera sembuh dalam waktu dekat, lain kali sembuhkan lukamu di sana sebelum kau hendak datang ke sini," ucapnya, lalu merapikan semua peralatan dan beranjak pergi meninggalkan Anna.

Anna mengerjap, menatap kepergian Tabib Yen. "Apa si bapak tua itu tau gue siapa?"

_____
Anna bar-bar banget, ya. Aku yang kalem ini hanya bisa elus dada, sabar.

Pangeran Atlantic juga, mesum banget. Tapi fine aja sih, kan sama istrinya:) kalau sama pembaca beda lagi konsepnya.

Dadah, see you Next part.

I am [Not] A Princess | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang