27. Tangisan Anna

14.2K 1.7K 32
                                    

_____
"Gimana kondisinya?" tanya Lala yang baru saja tiba.

Atala menggeleng, fokusnya masih pada benda pipih itu. "Masih sama kayak hari-hari kemarin, dia kayak orang tidur aja," sahut Atala.

Lala menghela napas pelan, menatap Anna sendu. "Eh, kok dia nangis?" Lala tentu kaget saat melihat air mata mengalir pelan di pipi gadis itu.

Fokus Atala langsung pecah, menatap lamat-lamat wajah Anna. "Oh iya, ya. Gue baru nyadar, gue ingat. Barusan dia kayak nyebut nama gitu," ucap Atala.

"Manggil orang? Dalam keadaan koma dia ngomong? Jangan aneh-aneh lo, mana ada," simpul Lala tak habis pikir.

"Seriusan, La. Dia manggil nama Pangeran Atlantic, gitu kalau gue gak salah dengar," jelas Atala sangat yakin, walaupun tadi fokusnya pada ponsel. Namun, ia tak mungkin salah dengar ketika gadis itu berbicara dengan menyebut nama aneh.

Dahi Lala mengerut. "Pangeran Atlantic? Kok aneh." Lala berpikir sejenak, barangkali ada sesuatu yang berhubungan dengan nama itu. "Ah, iya. Gue ingat, kalau gak salah itu salah satu tokoh utama novel yang dia baca. Besok gue bawain, siapa tau dengan bacaan tuh novel dia jadi cepat sadar," ungkap Lala berharap.

Atala hanya mengangkat kedua bahunya, apapun itu Atala yang bisa menurut saja. "Ya udah, gue sih terserah," sahut Atala.

***

Anna meringis, sepertinya gadis itu mulai merasakan efek cambukan Ratu Dionne sekarang. Lihatlah, bekas yang tadi kemerahan kini telihat membiru.

"Dia sudah sadar, Pangeran," ucap pemilik rumah itu, lalu bergegas keluar dari kamar. Membiarkan Pangeran Atlantic dan Anna berdua.

Pangeran Atlantic bergegas mendekat, mengambil duduk di sisi ranjang. Ia menatap sayu wajah Anna yang tampak pucat, apalagi melihat bekas cambukan tidak bermoral itu.

"P–Pangeran," lirih Anna serak.

Pangeran Atlantic langsung meraih tangan Anna ke dalam genggamnya. "Aku di sini, Anna. Aku di sini," jawabnya, berulang kali mengecup punggung tangan Anna.

Anna membuka mata detik itu juga air mata lolos, entah kenapa mendadak ia menjadi cengeng dan ingin dimanja oleh Pangeran Atlantic. Anna merasa kesakitan.

"Ssst, jangan menangis. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," ucap Atlantic lembut, menyeka air mata Anna.

"A–aku takut, mereka ...." Anna kembali menangis, ia tak sanggup merampungkan kalimatnya itu.

"Kita akan balas mereka," sanggah Pangeran Atlantic, entah itu hanya sebuah kalimat penenang atau memang benar-benar Pangeran Atlantic akan melakukannya .

Anna langsung memeluk Pangeran Atlantic, menumpahkan segala rasa sakit di tubuh. Sedangkan Pangeran Atlantic diam membalas pelukan Anna, sorot matanya begitu misterius.

Saat ini Anna benar-benar rapuh dan butuh bahu untuk bersandar, hati yang keras dan kesal perlahan melunak. Tanpa disadari, Anna mulai menyayangi Pangeran Atlantic. Membutuhkan perlindungan Pangeran Atlantic.

"Kau tetap tinggal di sini, malam nanti aku akan melakukan penyerangan," bisik Pangeran Atlantic.

Anna menggeleng, ia tidak berani tinggal di kota. Sudah dipastikan Ratu Dionne pasti sedang mencarinya. Anna tidak mau mati konyol di tangan Ratu psyco itu.

Usapan lembut dari tangan kekar Pangeran Atlantic menyapu punggung Anna. "Kau tidak boleh ikut denganku, ini terlalu berbahaya," cegah Pangeran Atlantic.

"Jika aku tinggal, maka ini akan jauh lebih berbahaya. Aku sangat yakin, Ibunda Ratu Dionne pasti akan membunuhku," sanggah Anna gemetar.

Pangeran Atlantic menghela napas pelan. Ia benar-benar tak bisa  menoleransi lagi perbuatan Ibunya yang selama ini ia tutupi dari Raja Aklesh.

Namun, Pangeran Atlantic juga tidak tega jika harus melihat Ibundanya dihukum di depan rakyat Atlants. Ratu yang seharusnya memberi contoh positif, justru sebaliknya. Apalagi itu pada menantunya sendiri, Putri Anna.

Embusan napas berat kembali keluar, Pangeran Atlantic melepas pelukan Anna. Kini kedua tangannya bertumpu pada bahu gadis itu. Ia mencoba tersenyum setulus mungkin, walau ada keraguan yang menghasut pikirannya. "Baiklah, kau akan ikut denganku ke perbatasan kota."

Anna tak peduli jika nyawanya berakhir di medan perang nanti. Intinya Anna tak ingin mati mengenaskan dalam kisah novel romantis ini. Anna ingin mati dalam keadaan wajar bukan terbunuh secara tak wajar, hanya itu.

"Aku akan tetap di sampingmu, walau dunia menyerang," ucap Anna pelan, kembali menyenderkan kepalanya di dada bidang milik Pangeran Atlantic.

Pangeran Atlantic mengulas senyum simpul, kembali mendorong tubuh Anna untuk berbaring. "Begitu, ya? Sejak kapan kau begitu romantis?" goda Pangeran Atlantic.

Pipi Anna langsung bersemu merah, sial. Anna terkena jebakan, seharusnya kalimat itu tidak keluar dari bibirnya.

"Tidak perlu malu, semua tahu kau mencintaiku lebih dari apapun," ucap Pangeran Atlantic, terkekeh jahil.

Dalam hitungan detik, Atlantic maju mengecup bibir tipis Anna. Refleks, Anna mendorong dada Pangeran Atlantic saat pria itu hendak memasukkan tangannya ke dalam mantel Anna. "Kau gila? Kita ada di rumah orang," gerutu Anna melotot.

Momen romantis kembali ambyar.

Pangeran Atlantic mencebik, menatap Anna dengan napas memburu. "Salahkan dirimu yang terlalu menggodaku," ujarnya.

"Dasar mesum," celetuk Anna kesal.

________

I am [Not] A Princess | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang