00. Prolog

799 47 0
                                    

Hujan diluar sana cukup untuk membuat siapapun akan menggigil kedinginan. Ditambah suhu pendingin udara yang sengaja di setel rendah, udara didalam ruangan sini justru malah semakin dingin. Tapi sepertinya hal itu tidak lantas membuat kepala seorang Wanda Ayu mendingin begitu saja.

"Bajingan ya lo, tau diri dikit anjing."

"Cuman sejuta, Wan. Lo ngelon–"

"Bacot, Gav. Gue ga peduli sama urusan sampah lo."

"Ngelunjak lo anjing, awas–"

Wanda mematikan panggilannya secara sepihak. Belum sempat layar ponselnya mati, ia lebih dulu melemparkan benda pipih itu keatas ranjangnya dengan lumayan keras. Untung saja tidak terjatuh diatas lantai.

Jemari lentiknya menjambak keras rambutnya sekali, mencoba menyalurkan amarah yang tertahan entah sejak kapan. Air matanya pun turut tertahan, terasa sangat menjijikan untuk menitikkan air mata hanya karena kelakuan bajingan itu. Meskipun rasanya, sangat sakit. 

Kepala Wanda masih panas, benaknya masih diliputi emosi. Tapi suara bel apartement yang ditekan berulang kali mau tak mau membuatnya melangkahkan kaki untuk membuka pintu. Ia mengabaikan amarahnya sejenak, barangkali tamu kali ini lebih penting.

"Siapa?"

Pertanyaannya menggantung tanpa jawaban saat sosok Nala berdiri dihapadannya dengan wajah tak kalah kusut dari pikirannya saat ini. Wanda hanya terdiam. Menunggu Nala mengeluarkan sebuah kata atau barangkali sebatas permisi untuk masuk. Tapi nyatanya Nala tak kunjung mengeluarkan suara.

"Nal, kenap–"

Bibir Wanda lebih dulu dibungkam dengan terjangan ciuman mendadak kala lelaki itu merangsek masuk ke dalam unit Wanda tanpa permisi.

Perempuan itu tak bisa menolak. Bahkan sebatas bertanya ada apa saja dirinya tak mampu. Seiring dengan pintu yang ditutup Nala menggunakan salah satu kaki jenjangnya, mau tak mau Wanda mengesampingkan amarahnya. Menunda emosi nya untuk ia nikmati lain kali. Karena ada adiksi lain yang jauh lebih candu kini merajahnya.

Wanda selalu tak sempat mengajukan tanya, atau bahkan sebatas tanya mengapa tiap kali Nala menyambanginya dengan wajah kusut penuh pikiran dan amarah yang tertahan. Ia pula selalu tak memiliki waktu untuk sekadar mengabarkan kondisi hati atau pikirannya.

Selalu, mau tak mau, siap tak siap. Dirinya menjadi korban pertama dari setiap ego Nala yang terluka. Seburuk apapun kondisi hatinya, tak ada kesempatan untuknya bicara. Dan Wanda selalu tau hal itu.

Tubuh ramping itu kini mundur, mengikuti langkah Nala yang terburu menuju ranjang hangat di ujung ruangan. Dan kini lengannya mengalung pada leher Nala dengan sukarela. Seolah tak masalah dengan apa yang akan terjadi, dan tak peduli apa yang tengah ia alami.

Ciuman mereka selalu menyimpan banyak perasaan. Amarah-amarah yang tertahan, luka tanpa penawar, bahkan hingga perasaan bertepuk sebelah tangan. Nala selalu terbaik dalam hal ini. Lelaki itu bahkan menjadi si selalu untuk Wanda yang buta fakta.

Nala selalu terbaik, Nala selalu terhebat, dan Nala selalu bajingan dengan caranya sendiri.

"Nala–" napas Wanda tercekat. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya dibawa terbang melayang hingga nirwana. Lelaki itu memperlakukannya dengan begitu tepat. Tertata dan tidak terburu-buru.

"Bau cowok lain, sayang. Siapa yang habis dari sini, hm?" Suara rendah itu menyapa rungu Wanda yang hampir hilang akal karena Nala yang tak henti menggoda nya.

Mereka lupa diri, atau mungkin sebenarnya tengah saling mencoba melupakan diri. Mencoba menjadi seseorang lain, yang sedang saling mencari penawar di diri masing-masing. Ada luka yang telah menganga lebar, menanti ditangisi. Ada amarah yang telah menanti dipisuhi keji. Tapi dua insan ini justru terjebak dalam jeruji mereka sendiri.

"No, gak ada yang dateng." Wanda susah payah mengucapkan kalimat itu. Nala membuatnya gila. Mendengar deru napas yang patah-patah dan penuh isak pilu ingin kepuasan itu membuat senyuman miring terbit di bibir Nala. Padahal lelaki itu datang dengan wajah masamnya, tapi kini ia seolah-olah manusia si tanpa masalah.

Pemandangan erotis didepan mata Nala saat ini selalu dapat meredakan amarah lelaki itu dalam sekejap. Deru napas berantakan, yang sesekali diselingi teriakan nama nya dalam kepayahan. Membuat ego Nala yang tadinya terluka menjadi sembuh seketika.

Keringat Wanda bersatu dengan milik Nala. Mereka berbagi peluh, peluk, keluh, dan kesah. Tanpa kasih didalamnya.

"Fuck. Nal– please." Bisik Wanda resah. Lelaki yang kini dengan seenaknya sendiri mempermainkan diri nya itu ingin sekali ia hadiahi satu bogeman telak di wajah tampannya. Tapi sayangnya tubuhnya terlanjur lemas.

"My baby is liar. Who made this mark? Hm?"

Lo, tolol. Lo mabok kemarin.

Jawaban itu hanya tersimpan rapat dalam benak Wanda.

"Nala–" Tak ada lagi kata yang mampu Wanda ucapkan. Dalam bisik resah nya yang lemah, ia sekali lagi memohon.

Lelaki itu tersenyum miring lagi. Egonya menang. Diatas Wanda, dirinya adalah pemenang. Menguasai Wanda, adalah kepuasan. Mendengar permohonan dalam kepayahan Wanda, adalah kesenangan.

"God–" Jemari lentik Wanda mencengkeram kuat kain sprei dibawahnya. Menyalurkan rasa penuh dosa yang Nala hantarkan dengan khidmat dan tepat.

Nala kembali menang. Sekali lagi si jantung hati itu tersenyum penuh kemenangan setelah kekalahannya oleh sang puan yang kini merana sendirian.

"Ck. Wanda, hape lo. Berisik banget." Lelaki tanpa busana atasan itu terbangun dari tidurnya karena suara ponsel Wanda yang berisik minta ampun di pagi hari. Berdering keras sehingga mengganggu pagi mereka.

Wanda melepaskan diri dari dekapan Nala, dengan mata mengantuk akhirnya ia beranjak duduk. Dan membiarkan Nala yang kini memunggunginya karena ingin melanjutkan tidur.

Sepuluh panggilan tak terjawab.

Jemari Wanda lantas membuka kolom pesan yang memiliki banyak notifikasi dari orang yang sama.

curut.
• lo ga mati kan?
• kelas pak erik sepuluh menit lagi.
• wanda.
• BANGUN SIALAN. LO UDAH ALPHA MINGGU LALU!!!

Dan mata yang semula masih setengah terpejam itu segera membulat lebar saat membaca pesan terakhir yang dikirimkan Raka, salah satu teman dekatnya.

"Anjing. Gue kelas pagi." Pekiknya heboh hingga membuat Nala berjengit kaget.

Mengabaikan tubuhnya yang masih terasa pegal, Wanda segera berlari masuk kedalam kamar mandi. Melakukan semuanya dengan tergesa-gesa karena harus segera tiba dikampus dalam waktu sepuluh menit lagi.

"Mau kemana?" Pertanyaan aneh itu keluar dari mulut Nala yang masih berbaring diatas ranjang saat tidak ada tiga menit kemudian Wanda telah keluar dari kamar mandi.

"Kelas lah. Pake nanya lo." Serunya seraya mengenakan pakaian dan mengemas barang.

"Perlu gue anter?"

Perempuan itu menoleh, mengamati lelaki itu secara saksama dengan kedua alis bertaut sebelum berdecak kecil membuang waktu untuk membalas ucapan tak berbobot Nala. "Ck. Aneh lo."

"Gue berbaik hati nawarin loh."

Selesai memoleskan liptint di bibir merahnya, Wanda mengambil handuk basahnya yang berada disamping dirinya. Melemparkan handuk itu kearah Nala dengan cukup kuat. Hingga lelaki itu tertawa karena puas menggoda Wanda di pagi hari.

"Beresin sisa lo. Awas kalo gue balik masih kotor." Ancam Wanda sebelum menghilang dibalik pintu.

🚫🚫🚫

The story is begin.


don't trust anyone—

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang