31. Rasa

229 33 8
                                    

Nala duduk sendirian di balkon apartemennya yang baru. Setelah putus dengan Mala, ia memutuskan untuk pindah apartemen karena tidak ingin mendapatkan teror permohonan maaf dari mantannya itu.

Sejatinya ia sendiri keheranan, mengapa Mala bisa menjadi seobsesi itu dengan dirinya. Bahkan disaat Kenan mampu mencuri perhatian maminya hanya dalam sekali pandang.

Hari ini, Nala kembali meurutuki hidupnya. Setelah memaki Kenan dan Mala didalam hati, kini ia memaki dirinya sendiri yang tidak pernah mengecek lebih dulu dengan siapa ia akan bertetangga.

Kembali menenggak isi kaleng di genggaman tangannya, Nala berdecak kecil saat melihat dari atas Wanda dan Aidan berjalan bersama masuk ke dalam mobil. Genap dua minggu ia memutuskan segala kontak nya dengan Wanda.

Genap dua minggu pula ia akui jika dirinya merana.

Wanda dilihatnya baik-baik saja. Telah mampu tersenyum bahkan sesekali tertangkap olehnya tengah tertawa dengan Aidan. Atau mungkin, hanya sebuah pura-pura? Perempuan itu selalu tak tertebak.

Beranjak berdiri, Nala memutukan untuk berangkat ke kampus. Meskipun malas akan mendengar gosip aneh, atau justru bertemu Jean, tapi entah mengapa demi Wanda ia mau beranjak berdiri.

Apaan sih anjing. Wanda mulu.

Langkahnya terhenti. Kembali ragu. Perasaan dan pikirannya bergulat.

Bodo amat. Gue kangen.

Menghela pendek, ia akhirnya melanjutkan langkah. Berjalan cepat menuju parkiran. Berharap jika tibanya nanti akan bersamaan.

Wanda melarikan diri, dari segala ingatannya tentang Nala ataupun bayangan menyenangkan ia dan kawan-kawannya. Memilih mengiyakan tawaran Aidan untuk menetap sesaat di apartemen lelaki itu.

Ia tau, tak sekali dua kali Raka datang mengunjungi unitnya. Tapi Wanda terlalu pengecut. Lebih baik ia bertemu dengan mamanya daripada Raka ataupun Gigi dan Mala.

"Gue aja, Dan. Duduk gih, kan lo udah masak." Wanda merebut piring kotor yang akan Aidan bawa menuju tempat cuci piring. Menyenggol lelaki itu untuk menyuruhnya duduk, lantas tawa mereka berderai.

Aidan senang, Wanda terlihat membaik. Meski ia sendiri tak mendapatkan sama sekali clue mengenai perasaan sebenarnya gadis itu saat ini. Apakah benar-benar membaik, atau hanya sekadar pura-pura?

Ia selalu tak memiliki jawaban atas pertanyaan yang Wanda lontarkan padanya tak hanya sekali dua kali. "Kenapa lo suka gue? Kenapa lo suka penghianat, Dan?"

Mungkin jika kasus Rya dulu, Aidan mengaku jika posisinya telah kalah telak. Rya jelas memilih Nala dari segi manapun. Tapi dengan Wanda, semuanya yang hanya samar ini, ia tetap meneguhkan diri atas rasanya.

Bukankah aneh?

Aidan marah besar dan memutus kontak kala mendapati Rya dengan Nala. Kini, bahkan ia tau jelas seperti apa Nala dengan Wanda. Tapi dirinya tetap berdiri di tempat. Merentangkan lengan dengan lebar demi menyambut puannya dalam dekap hangat jika sewaktu-waktu akan berlari kepadanya.

Setelah menyelesaikan cuci piringnya, mereka akhirnya berangkat ke kampus.

"Gue turun di halte depan aja, Dan." Ucap Wanda saat mereka telah hampir sampai memasuki daerah kampus. Nada bicaranya khawatir, kali ini terdengar jelas.

Aidan menoleh sekilas. "Kenapa?"

Wanda mengalihkan seluruh pandangannya menuju Aidan. "Lo serius?"

"Kenapa? Kita kan ga sekali dua kali berangkat bareng."

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang