16. Refleksi.

225 29 3
                                    

"Kamu dari mana? Semalem kamu nggak ada di apart dan kamu ninggalin aku gitu aja, Nala. Kamu padahal tau kan, aku tuh nggak suka ditinggal tiba-tiba kayak gitu. Mana handphone kamu mati. Kamu tuh kenapa sih? Ngabarin kamu dimana ke aku itu nggak sampe semenit loh. Mami aku sampe tanya. Nala mana? Nala jadi kesini nggak? Nala sakit? Semua panik. Cuman gara-gara kamu. Hargai aku, sekali aj–"

"Udah?"

Mala terdiam. Menahan amukan yang selanjutnya dalam deru napas tidak beraturan penuh luapan emosi. Nala tidak pernah sekalipun memotong ucapannya, aduannya, atau gerutunya. Nala selalu mendengarkannya dengan baik meski berujung hanya akan saling menyalahkan satu sama lain.

Karena harus diakui tidak hanya satu dan dua kali mereka saling beradu mulut berakhir Nala yang pergi meninggalkan puannya dalam keadaan marah, beralasan menenangkan diri. Padahal kemana lagi ia pergi jika bukan menuju apartemen milik Wanda.

Perempuan lugu nan ayu yang kini duduk dikursi penumpang mobil mewah Nala ini hanya membisu, menahan tangisan.

"Udah interogasi aku nya? Kamu nggak mau denger penjelasan aku dulu kan?" Ada jeda beberapa detik yang Nala ambil. "Selalu." Bibirnya menyeringai. Membawa hawa aneh yang baru pertama kali Mala rasakan.

Nala-nya adalah lelaki lembut yang meski banyak membuatnya menangis karena tak ingin mengalah darinya. Nala-nya lelaki yang selalu tulus menyayanginya. Bahkan hanya dalam sekali pandang, Mala begitu yakin akan sedalam apa perasaan lelaki itu untuknya.

"Egois kamu, Mal. Kamu selalu minta dingertiin. Selalu minta ini itu. Dan aku selalu bilang iya, Mala. Kapan sih aku pernah nolak semua kemauan kamu? Kapan aku pernah minta kamu balik ngertiin aku? Enggak kan? Bahkan proyek di Bali aja kamu aku kasih iya kan buat ikut. Dan sekarang? Kamu minta aku apa? Hargai kamu? Emang pernah ya kamu hargai aku sebelum ini?"

Mala masih membisu. Bahkan tak berani membalas tatapan Nala yang dirasanya terlalu mengerikan. Mala hanya mampu terisak pelan.

"Orangtua kamu mana pernah sih Mal ngerhagain aku? Selalu Kenan, Kenan, Kenan. Pacar kamu itu, Nala, Kamala. Bukan Kenan." Tekan Nala. Seolah ia adalah si paling terluka akan segala perbuatan orangtua Mala.

"N– Nala. M– Maaf. Bukan gitu maksud mami. M– Mami–"

"Apa? Dia anak sahabat mami kamu kan? Itu kan alesan mami kamu lebih pilih dia? Tapi aku kurang buktiin apa ke kamu, Mal? Semua udah aku kasih ke kamu. Aku juga punya masa depan. Hobi aku aja banyak gini hasilnya. Mami kamu masih nggak percaya?"

"Nala, please. Listen to me."

"Kenapa? Capek? Sama. Gue juga."

"G– Gue?"

Mala baru berani mengalihkan pandangannya menuju lelaki yang kini memalingkan wajah itu. "Gue? Kamu bilang gue ke aku? Aku cuman bahas kenapa kamu pergi ninggalin aku kemarin, Nala! Kamu sendiri yang bawa masalahnya sampe mana-mana! Dan sekarang, you talk to me, gue?!"

Nala menoleh ketika Mala meneriakan kalimat terakhirnya cukup kencang. Ia membawa tangan gadis ayu yang tengah menangis didepannya itu kedalam genggaman yang hangat. Tapi urung, Mala menepisnya lebih dulu.

"Sayang, I'm sorry. Bukan gitu maksud ku. Aku cuman kebawa emosi. I'm sorry, okay? Please, honey."

"Aku ini pacar kamu Nala! Bukan temen kamu." Mala segera membuka pintu mobil, dan sengaja menutupnya kembali dengan keras hingga membuat Nala berjengit kaget.

Bangsat.

Desisnya dalam hati. Jika sudah begini, kemana ia akan lari?

Benar. Pilihan kedua.

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang