26. Heartbreak

237 25 0
                                    

Aidan benar-benar seperti sebuah pasak untuk Wanda si tiang yang hampir roboh. Lelaki itu bahkan tidak melepaskan genggaman tangannya sedari Wanda berjalan terburu menuju IGD dan mengaku jika dirinya wali dari Gavian.

Terus merapalkan janjinya akan bertahan di sisi Wanda apapun keadannya. Lelaki itu seperti sedang menunjukan pada Wanda, jika ia layak untuk si puan. Ia, bukan Nala.

"Thanks, sekali lagi, Dan." Ujar Wanda lirih ketika mobil telah berhenti di halaman parkir gedung apartemennya.

"Sama-sama, Wanda." Balas Aidan seraya tersenyum.

Tangan Wanda semula tengah memegang handle pintu, tapi benaknya memberontak. Memintanya untuk berbalik badan dan mengungkapkan sebuah keinginan gila. "Gue, boleh pinjem peluk lo sekali lagi?"

Dan lagi, Aidan mengangguk. Lengannya terulur, membawa Wanda kedalam dekapannya yang hangat dan aman. "Lo boleh pinjem peluk gue kapanpun lo mau dan butuh. Gue nggak kemana-mana."

Wanda mengangguk pelan dan melepas dekapannya. "Iya. Gue masuk dulu."

Dan ketika perempuan itu akan membuka pintu lagi, lengannya lebih dulu dicekal kuat oleh Aidan hingga tubuhnya berbalik. Bibirnya bertemu dengan bibir Aidan, meleburkan semua perasaan kacau yang bersarang di kepala dan benak.

Isakan tertahan Wanda lolos perlahan-lahan. Perempuan itu menangis bertepatan ketika Aidan mulai membuat alurnya. Masih mencoba menenggelamkan diri pada tautan bibir mereka, Wanda tanpa sadar justru semakin terisak.

Aidan menjauh, mengamati wajah memerah Wanda dengan bibir yang bergemetar.

"J– jangan tinggalin gue." Bisikan itu sangat lirih. Bahkan hampir kalah dengan deru mesin mobil.

Lelaki itu menggeleng tegas, kedua tangannya menggenggam hangat tangan Wanda. "Gue nggak akan ninggalin lo, gue disini." Balasnya meyakinkan.

Wanda mengutuk dirinya sendiri yang mendadak menjadi lemah seperti saat ini. Apa yang ia tangisi sebenarnya? Bukankah ia terbiasa hidup tanpa Gavian? Apa yang ia sedihkan? Apa yang ia takutkan akan kesendirian?

Bukankah, semuanya berjalan sebagaimana biasanya? Ada, ataupun tanpa Gavian disampingnya.

Mengapa ia menyayangkan kepergian Gavian? Setiap tangis atas perpisahan itu sebenarnya benar-benar karena kehilangan, atau sebatas takut menghadapi masa depan sendirian?

Wanda menelan ludahnya kasar. Ia menarik tangannya dari genggaman Aidan dan mengusap air matanya kasar.

"Gu– gue–"

"Nggak dosa mengakui kalo kita bisa lemah juga, Wan. Lo manusia, jangan bersikap seolah-olah lo sanggup sama semua masalah yang lo hadapi sendirian. Lo boleh nangis dan lelah, Wanda. Lo berhak mengadu."

Lidah Wanda kelu. Ia menatap nanar kedua mata Aidan yang berpancar tenang. Mata itu terasa menenangkan dan sejuk ketika ditatap. Seperti menyimpan mantra yang mampu membuat siapapun akan terpaku.

"Gue disini. Lo boleh ngadu ke gue." Lanjutnya.

Wanda masih menatap dalam kedua mata Aidan. Hingga beberapa detik kemudian mengalihkan pandangan dan bergegas keluar.

"Thanks." Ucapnya pelan seraya menutup pintu. Tanpa menanti balasan Aidan, ia berlari masuk ke dalam gedung apartemennya. Mencoba menenangkan detak jantung yang menggila.

Ini gila. Karena perasaan asing ini selalu ia rasa saat bersama Nala, tapi mengapa sekarang dengan Aidan juga merasakannya?

Nala membuka sebuah kaleng bir baru saat melihat Wanda telah masuk ke dalam gedung. Pikirannya kacau, egonya yang masih terluka bertambah menganga saat melihat Wanda keluar dari mobil Aidan. Dini hari pula.

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang