Pengumuman hari bahagia Hari Dirandra si pemilik perusahaan besar yang maju di bidang informasi dan teknologi tersebar begitu cepat. Pernikahan kedua, dengan seorang perempuan pebisnis yang tak kalah sukses pula.
Berita itu bahkan sampai hingga telinga mama Aidan yang kini hanya melamun panjang diatas ranjang, menatap nanar layar televisi yang menayangkan berita panas itu.
Ada sebuah luka yang menganga lebar dalam hatinya, yang tak memiliki penawar, yang tak akan sembuh dalam satu atau bahkan dua hari. Yang lebih menyakitkan daripada goresan pisau di nadi.
Kusma Ayuni pernah menempati posisi sebagai pendengar, teman, dan bahkan sahabat terbaik dalam hidup Sekar. Selalu ada Kusma dalam setiap fase kehidupannya, sebagai penasihat atas setiap langkah yang akan diambilnya. Tanpa pernah mempermasalahkan apapun, bahkan mengenai hanya dirinya sendiri yang menganggap pertemanan mereka akan abadi.
Pertama kali melihat nama Kusma dalam salah satu data perjalanan yang suaminya miliki, ia menampik fakta itu. Enggan menaruh curiga, bahkan masih mempercayai keduanya dengan begitu tulus dan penuh cinta. Sampai terlena, sampai terlupa bahwa terkadang mereka yang kita cintai adalah dia yang akan melukai.
Kusma Ayuni, perkenalan mereka pertama kali adalah di kantin sekolah menengah keatas. Kala harga makanan masih di nilai ratusan. Mereka tumbuh bersama, jatuh cinta dalam waktu berdekatan, dan menikah dalam tahun yang sama.
Persoalan Hari Dirandra, Sekar bahkan sangsi ia mampu mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada mantan suaminya itu meski usianya telah menginjak kepala lima. Tapi soal pertemanan yang dibangunnya sejak remaja? Ia tak mampu. Kepercayaannya terlalu besar hingga kecewa yang dirasanya kini luar biasa.
"Perempuan sundal." Bisik Sekar lirih dengan genggaman tangan yang semakin menguat, meremas foto lama yang ia simpan dengan baik.
Melihat wajah ayu yang biasa ia banggakan didepan keluarga maupun sanak kerabatnya itu bersanding dengan lelaki yang pernah mengajaknya sumpah sehidup semati membuat dirinya seperti kehilangan arah. Sakit yang dirasanya luar biasa, hingga ujung jarinya seperti tersengat listrik jutaan volt.
Isakan itu perlahan terdengar. Perlahan semakin mengeras, disertai tepukan keras pada dadanya yang ia harap mampu mengurangi sesak.
Sakit. Ia tak mampu. Sekar tak pernah siap akan pengkhianatan.
—
"Wanda Ayu!"
Langkah Wanda terhenti saat mendengar suara itu menyerukan namanya dengan lantang. Ia tidak menoleh, hanya terdiam ditempatnya hingga lengannya ditarik keras dan membuat badannya berbalik sempurna.
"Ngapain kamu disini?" Tatapan bengis itu penuh kekhawatiran.
Wanda tersenyum tipis. "Kenapa? Takut orang-orang tau mama punya anak? Iya?"
Plak.
Gadis itu tersenyum miring, memalingkan wajah guna menutupi sorot lukanya.
"Jaga mulut kamu, Wanda. Mama tanya baik-baik. Berani-beraninya kamu malah jawab ga sopan kayak gitu."
Wanda memilih diam. Dan segera memacu langkah kakinya untuk pergi dari sana secepatnya.
"Jawab mama!" Teriak perempuan berusia kepala lima itu. Menggema di basement parkir yang sepi.
Lagi-lagi langkah Wanda terhenti. Ia membalikkan badan dan memasang tatapan yang tak kalah sinis nya. "Jawab apa lagi? Mama peduli apa lagi sama gue?! Mama pernah peduli apa sama gue sampe gue harus jawab pertanyaan itu." Seru Wanda tak kalah keras.
"Yang sopan! Saya ini ibu kamu."
Sebelah alis Wanda terangkat. Ia melangkah semakin mendekat meski batinnya bergejolak hebat. "Ibu? Mama ibu gue? Ibu?" Ia tersenyum miring mengintimidasi. "Ibu mana yang gatau anaknya mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictionNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...