22. Perfect wound

222 26 2
                                    

Hari ini, orangtua Aidan resmi bercerai. Lelaki itu banyak melamun karena memikirkan mamanya yang terlihat sangat lelah. Untung saja masih ada nenek dan kakeknya yang membantu menguatkan perempuan nomor satunya itu.

Tapi tetap saja, pikirannya kosong. Aidan banyak melamun. Mengutuk kelakuan bejat ayahnya, dan mengumpat tak henti.

"Gue baru tau lo bisa bolos."

Lelaki itu menoleh kebelakang, Wanda berjalan mendekat kearahnya. Masih dengan pakaian dan aroma parfum yang menyeruak kuat, menandakan jika ia belum masuk kelas. Atau malah, memang berniat membolos juga.

Aidan tersenyum tipis. Matanya tak lepas memperhatikan Wanda disampingnya. "Lo juga, ngapain bolos?"

"Males, ngantuk."

Mereka terkekeh kecil. Sama-sama menikmati udara pagi danau belakang kampus yang sepi. Wanda semalaman terjaga karena mendengar kabar jika Gavian telah membaik.

Tapi hingga pagi tiba, Gavian masih dalam tidur tenangnya. Bahkan sama sekali tidak menandakan tanda-tanda akan terbangun. Dan tetap, sama sekali tidak ada pertanyaan dari papanya atau mamanya. Tidak ada yang peduli, Gavian menghilang.

"Istirahat, Wan. Sekali-kali lari nggak masalah kok."

Wanda tertawa kecil. "Lagi ngomongin diri sendiri ya?" Sindirnya.

Aidan tertawa. Wanda benar-benar mampu mendistraksi segala pikiran kacaunya. Lelaki itu mengangguk-angguk, mengiyakan. "Iya. Makanya lari kesini."

"Kenapa harus ke sini?" Pertanyaan itu keluar begitu saja. Tanpa kontrol, dan membuat degub jantungnya menggila sendiri. Aneh rasanya.

"Nungguin lo, sengaja biar liat lo."

Wanda sesaat terdiam. Menyangkal gejolak aneh yang timbul di benaknya.

"Dih, berharap banget ya gue bolos juga?"

"Bukan berharap, cuman tau aja kalo lo bakal bolos."

Mereka tertawa. Seolah membagi beban masing-masing dalam candaan yang terlontar.

Gavian membuka matanya perlahan. Entah berapa lama ia memejamkan mata, sinar lampu yang meneranginya saat ini terasa sangat menyilaukan. Beberapa bagian tubuhnya tak lagi terasa sesakit kemarin.

Ia mengerjap beberapa kali, suara samar Bi Asih yang ribut memanggil dokter mulai perlahan-lahan masuk ke dalam indera pendengarannya. Napas Gavian perlahan kembali teratur, ia menatap langit-langit setelah menyadari jika dirinya berada di rumah sakit.

Dan masih hidup.

Wanda menyelamatkan nya kembali.

Sesak itu dengan sialan kembali menyergapnya. Padahal baru saja ia mampu menarik napas lega.

Kenapa ga mati sekalian? Tuhan mau hukum gue gimana lagi?

"Den Gav, Den Gav, Bibi disini." Gavian mengedip, mengatakan melalui matanya jika ia tau. Ia sadar dan ia mendengar.

Tapi melihat air mata Bi Asih yang tidak seharusnya tercucur untuk dirinya itu terasa lebih menyakitkan daripada pukulan tongkat baseball papanya beberapa waktu lalu. Air mata itu terlalu berharga, untuk dia yang hadirnya tak teranggap ada.

Bi Asih terlihat ribut mencari ponsel Gavian. Menghubungi nomor Wanda yang Gavian tetapkan sebagai nomor emergency di log panggilan.

Samar terdengar. Tapi suara bahagia Bi Asih sangat terasa.

Kalo gue mati, apa iya cuman Bi Asih yang bakal sedih? Mama, mama kemana?

Air mata itu secara tidak sadar satu persatu turun. Gavian mengedip sekali lagi. Merutuki dirinya yang lemah dan tak mampu melawan apapun pada papanya. Goresan-goresan pecahan guci tajam itu pada kulitnya kembali terasa ngilu. Tulang punggung dan lehernya yang terkena pukulan tongkat baseball tak kalah nyeri rasanya.

Gue– nggak pernah diharapkan buat ada ya, pa?

"Den Gav, sabar, sabar sebentar ya. Dokter!"

Bi Asih kembali ribut memanggil dokter, berseru kencang di lorong rumah sakit. Untuk kemudian disusul suara derap langkah kaki yang terburu menuju ruangan Gavian.

Sekali lagi, Gavian menitikkan air matanya.

Kenapa gue masih hidup, tuhan? Gue harus dihukum gimana lagi sama keadaan?

Setelah dokter selesai memeriksa keadaan Gavian, mereka mengatakan jika kondisi Gavian benar-benar jauh membaik. Luka-luka ditubuhnya perlahan pun memulih.

Bi Asih berjalan mendekat, membersihkan dahi dan wajah Gavian menggunakan handuk basah. Benar-benar sebuah perlakuan yang membuat Gavian berkali-kali lipat mengutuk orangtuanya dalam hati.

Aidan berjalan tergesa menuju ruang IGD, dengan kakek dan neneknya yang telah menunggu didepan ruangan. Jantung Aidan berpacu cepat, bibirnya berulang kali merapalkan doa dan harapan. Meskipun kepalanya tak henti juga mengutuk papanya.

"Mama gimana, nek?" Tanya Aidan setelah tiba disana.

"Sudah membaik, tolong jaga mama mu ya."

Aidan mengangguk pelan.

"Nenek harus balik, kakekmu juga udah nggak kuat lama-lama disini."

Sekali lagi Aidan mengangguk. Dan ketika ia mempersilakan pasangan itu meninggalkan dirinya sendirian di lorong IGD, sepasang matanya tak sengaja menemukan Wanda yang berlari tergesa menuju arah lift.

Tapi kali ini Aidan memilih untuk mengabaikan perempuan itu lebih dulu, kakinya perlahan masuk kedalam ruangan mamanya. Menghela napas pendek sekali lagi saat melihat kondisi lemah perempuan ayu yang membawanya ke dunia.

Ruangan dingin itu hening, Aidan menggenggam tangan yang kini terlihat kurus dan rapuh itu. Bibirnya mengukir senyum tipis yang bahkan hampir tak kentara.

"Mama, ada Aidan disini. Mama punya Aidan, Ma."

Ucapan itu tak akan pernah terlontarkan bila mamanya sadar, Aidan sangsi akan hal itu. Mengingat terkadang betapa mereka saling ingin menang atas ego masing-masing. Tapi kali ini, sedikit menyingkirkan egonya, Aidan berucap sungguh-sungguh.

Perempuan itu masih memilikinya, perempuan itu masih miliknya. Dan mereka masih memiliki kesempatan untuk tetap bersama, untuk kembali membangun kenangan baru.

🚫🚫🚫

Update lagi gapapa kan yakk 🥲

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang