15. What if

227 30 2
                                    

Wanda terbangun dengan kepala sedikit pusing. Semalam ia benar-benar tumbang karena demi menutupi perasaan aneh dan kesal nya pada Aidan ia minum seperti tanpa aturan.

Dan terbangun di pagi hari dengan segelas minuman yang Nala bawakan dari luar kamar. Wanda menghela napas pendek saat mengingat apa yang terjadi semalam. Kebodohan tanpa toleransinya.

"Minum." Ujar Nala.

Wanda menerima minuman itu tanpa bersuara banyak. Bahkan tanpa mengucapkan terimakasih sama sekali.

"Kita perlu ngomong."

Wanda melirik kearah lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Mencari tatapan tajam Nala yang biasanya akan muncul saat seperti ini. Bibir Wanda menyeringai tipis.

"Ngomong apa lagi? Mau buat Mala musuhin gue? Apa siapa lagi yang mau lo bikin kaget karna ulah kita, Nal?"

Nala terdiam. Memberikan Wanda waktu untuk berbicara.

"Lo udah gila tau ga? Maksud lo apa? Mau buktiin kalo gue bisa jadi Rya kedua buat lo? Mau buktiin keseluruh dunia kalo lo selalu dapet apa yang lo mau? Iya, Nal?"

Lelaki itu masih membisu. Mengamati wajah Wanda yang memerah karena menahan amarah.

"Gue nggak pernah nyangka lo bakalan seegois ini." Mereka masih bersipandang lekat. "Gue nggak pernah nyangka lo sebajingan ini, Nal."

"Kita. Bukan gue."

Dahi Wanda mengernyit.

"Lo pikir gue bakal lanjutin ini semua kalo lo ga pernah kasih gue jalan? Lo sama aja, Wan. Kita sama aja." Ada penekanan nada dalam kata 'kita' yang Nala lontarkan.

Wanda mendesah pendek. "Terus mau apa lo sekarang? Dengan lo tiba-tiba datengin gue lagi tanpa tujuan–"

"Aidan yang minta gue dateng." Giliran perempuan itu yang terdiam. "Lo munafik, Wan. Lo cewek termunafik yang pernah gue tau. Lo selalu bilang gue bajingan, disaat lo sama aja kayak gue."

Wanda masih terdiam dalam keterpakuannya. "Lo bahkan nggak pernah larang gue buat dateng, lagi dan lagi."

Mata Wanda mengerjap.

"Lo munafik. Mau sampe kapan lo bohongin perasaan lo ke gue?"

Napas perempuan itu tercekat, ia kehilangan kata untuk membantah ucapan Nala. Lelaki itu mendekat. Memasang senyum manis penuh tanda tanya diwajah tampannya. Berbanding terbalik dengan wajah datar barusan. Nala ini luar biasa sekali skill aktingnya, dan harus diakui.

"Kenapa bahas Rya? Cemburu ya?"

Wanda benar-benar memaku. Perasaannya adalah rahasia terbesar hidupnya. Dan sekarang, orang yang ia hindari untuk tau justru lebih dulu menebaknya dengan benar?

"Udah gila lo."

"I am."

Menarik napas panjang, Wanda mengajukan satu tanya. "Apa yang lo cari dari gue, Nal?"

Pertanyaan itu menjebak keduanya. Baik bagi Nala ataupun Wanda sendiri. Apa yang selama ini saling mereka cari? Sebatas afeksi? Atau justru penawar untuk ego yang terlukai?

Nala terdiam beberapa saat. Menimbang banyak jawaban yang bermunculan di kepalanya. Ia menjilat bibir bawahnya sekilas, lantas membalas cepat.

"Lo. Gue mau lo."

Wanda terkekeh kecil. Meremehkan pernyataan gamblang Nala baru saja yang terdengar begitu aneh ditelinganya.

"Atas dasar apa? Pendosa kayak kita nggak pantes buat bahas cinta, Nal. Jangan harap gue bakal percaya sama omong kosong lo."

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang