"Wanda?"
Lelaki paruh baya itu mungkin telah lama tak bertemu dengan putri tunggalnya untuk waktu sekian lama. Tapi ia jelas tak akan salah lihat. Itu Wanda. Jaket yang digunakannya adalah milik Gavian yang ia pernah lihat Gavian memakainya saat pulang dari balapan liar.
Tapi untuk apa Wanda kemari? Siapa yang meninggal?
"Siapa mas?" Anita, salah satu simpanannya yang akan ia nikahi dalam waktu dekat ini menoleh ke arah Kresna Adijaya yang barusaja menyebutkan nama asing itu. Nama perempuan lain. Disaat mereka tengah mendatangi makam kedua orangtua Anita guna meminta restu pernikahan.
"Bukan siapa-siapa. Kamu ke mobil duluan ya, saya ngecek kesana sebentar."
Perempuan ayu itu mencebikkan bibir. "Ada siapa sih emang? Aku nih lagi hamil loh, masa mau ditinggal-tinggal."
Kresna tersenyum manis madu. "Sebentar aja ya, okay? I'll be back soon, promise." Ada kecupan manis dipipi yang Anita dapatkan. Yang membuat senyumannya lantas terbit dengan mudah.
Perempuan itu kemudian berjalan menuju mobil, diikuti dua bodyguard dibelakangnya yang memang selalu ada kemanapun mereka bepergian.
Kresna Adijaya mendatangi tempat ia lihat Wanda berdiri tadi. Memandangi lamat-lamat dengan kedua alis bertaut heran serta perasaan rancu yang mengobrak-abrik segala isi hati dan kepalanya.
Nama Gavian Pratama, lengkap dengan tanggal lahir dan hari kematian tertulis jelas di kendi abu dihadapannya. Bahkan ada namanya disana, tertulis sangat jelas dan terasa hampir tak nyata baginya. Dan juga foto masa kecil Gavian dan Wanda.
Gavian Pratama
Lahir, 18 Mei 1999
putra Kresna Adijaya
Semuanya masih tertulis jelas, dimana hal itu mengatakan secara tidak langsung jika kematiannya baru dalam waktu dekat.
"Mau jadi apa kamu ikut balapan liar? Mati aja kamu, ga guna!"
"Anak gatau diuntung! Harusnya dulu saya biarin aja kamu mati."
"Mati kamu! Bisanya bikin malu aja!"
Kalimat terakhir yang ia ucapkan, cukup membuat tubuhnya bergemetar hebat bukan main. Kalimat itu diikuti dengan tangannya yang melayangkan tongkat baseball pada leher belakang Gavian.
Ia marah bukan main kala itu, bukan karena persoalan balapan liar yang Gavian ikuti lagi. Tapi karena rasa cemburunya melihat Gavian bersama dengan salah satu simpanannya. Ia tak ingin kalah dari putranya sendiri.
Jadi, ia— membunuh Gavian?
Tubuh itu terjatuh. Matanya menatap nanar kedua tangannya yang bergemetar hebat.
"Bos!" Seruan dari salah satu bodyguardnya yang datang mencarinya sama sekali tak membuat dirinya lantas tenang.
Kresna Adijaya, penguasa bisnis terhebat seantero kota, si tak gentar akan demo masyarakat yang tak ingin digusur tanahnya, kini jatuh duduk bersimpuh dan menangis tanpa sadar.
"Gavian mau kayak papa. Mau jadi orang hebat."
Itu puluhan tahun yang lalu. Saat Gavian masih memandangnya sebagai sosok yang penuh keberhasilan dan menjadikannya sebagai role model hidup.
"Papa aku keren banget loh, dia kemarin habis beliin aku mobil remote control."
"Papa aku keren tau, dia masuk berita. Kalian liat ga?"
Dan kini, anak itu telah mati. Membawa seluruh amarah dan sengsara yang dipendamnya seorang diri selama puluhan tahun.
"Bos!"
Baru akhirnya kesadaran Kresna kembali. Tapi untuk berdiri, ia perlu dibantu oleh salah seorang bodyguard.
"Ada apa, bos?"
Kresna menggeleng. Ia membisu hingga masuk ke dalam mobil. Bahkan mengabaikan puan ayu yang berstatus calon istrinya itu.
Harusnya aku yang mati. Maafin papa, Gavian.
Terlambat. Sebanyak apapun maaf yang akan ia ucapkan, itu tak akan mengubah apapun. Kresna Adijaya telah kehilangan segalanya. Istrinya, putranya, dan putrinya. Bahkan dirinya sendiri.
—
Wanda tak pernah menyangka jika ia akan melihat papanya disana. Menangis di pusara Gavian dengan raut terkejut yang terukir jelas di wajah tua itu.
It's fair, papa.
Selama bukan hanya ia sendiri yang menderita, maka semuanya akan terasa adil baginya. Aidan kehilangan mamanya dan dirinya, tetapi ia tak kehilangan apapun. Wanda tak akan kehilangan Aidan jika ia yang pergi, bukankah begitu?
Penyihir tetaplah penyihir.
Sebenar apapun dugaan Aidan mengenai nurani Wanda, gadis itu tetaplah penyihir yang hidup dengan kutukan mantra dari iblis.
Wanda tertinggal bus terakhirnya. Tapi bibirnya tersenyum begitu menemukan seseorang berdiri di seberang jalan, di samping mobilnya dan melambaikan tangan kearahnya.
Hati Wanda telah lama mati. Tak ada lagi amarah, duka, cinta, atau perasaan apapun yang kini terasa di benaknya. Karena ketika melihat sosok itu tersenyum, ia bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya.
"Hai. Long time no see." Sapa sosok itu.
Iblis selain melahirkan penyihir, kawanannya juga mendamba akan mereka.
Langkah Wanda terhenti didepan sosok itu. Bibirnya mengulas senyum tipis yang selalu mendistrak sosok tadi.
"Yeah. It's a long while, Aldrich."
Pada akhirnya, Wanda kembali kesana. Ketempatnya pernah merasa aman kala membocorkan sebagian kisah hidupnya, meski berakhir penghianatan.
Ralat, Jean tidak pernah menghianatinya. Jean hanya bercanda dengan Nala. Meski berimbas pada dirinya.
"See, you back to me." Ujar Jean kala Wanda menerima rentangan lengannya dan membalas dekapnya tak kalah erat.
🚫🚫🚫
Holaaaa!!
Endingnya ga jelas yaa?? 😭😭
Diluar prediksi banget emang ini endingnya karena aku ga tega Aidan si anak baik sama Wanda huhu 😭
Kalo dibalikin ke Nala kasian Wandanya. So yeah, biarkan penyihir sama iblis yaa 😭✌Well, makasih banyak yang udah mau ngikutin cerita gajelas ini dari awal sampai titik iniii. Sooooooo makasii banyak gaisss yang mau menyempatkan bacaaa padahl ga jelas gini huhuu.
See you on my mext project!
Jaga kesehatan and be happy!
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictionNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...