"Udah, Wan. Lo udah habis setengah bungkus dari tadi." Raka mencegah tangan Wanda yang akan menyalakan lagi sebatang rokok yang baru diambilnya.
Perempuan itu menoleh. "Hm?" Napas Wanda benar-benar bau rokok, Raka sampai harus menghela pelan dan menyerahkan gelas minumannya.
"Minum, bibir lo kering banget."
Mengikuti ucapan Raka, Wanda akhirnya mengembalikan rokoknya ke dalam kotak. Meminum minuman yang Raka sodorkan dan mengalihkan pandangannya ke sembarang arah begitu Nala memperhatikannya.
"Ada masalah?" Tanya Raka.
Wanda menggeleng, mengulum senyuman kecil. "Enggak. Lagi asem aja mulutnya."
Gigi tanpa disangka melemparkan sekotak permen karet. "Makan tuh, jangan rokok mulu napa dah."
Perempuan itu menerimanya, seraya mengucap terimakasih.
"Btw, Jean mana sih?" Gigi menegakkan duduknya, bertanya pada Raka yang sama tidak taunya.
"Kan cowok lo, napa nanya gue dah."
"Barangkali lo liat."
"Di ruang hima kali, sama Aidan."
"Ck."
"Oiya, tadi gue liat sama Karin juga di ruang hima." Timpal Mala.
Wanda terdiam, kunyahan dimulutnya sejenak terhenti. Tapi ia kembali mengunyahnya cepat saat lagi-lagi Nala melirik kearahnya.
"Ini mau jadi main?" Tanya Wanda, pada tiga temannya. Tiga, karena Nala bukan termasuk temannya. Nala– mungkin, gebetan? Atau– bisa jadi justru– kekasih?
"Jadi. Kalo Jean kesini lima menit lagi. Lo ikut kan?" Gigi justru balik bertanya.
Wanda mengangguk ragu. Melihat Nala yang seolah tak mau melepas Mala dari dekapannya cukup membuatnya menimbang-nimbang pilihan.
"Nanti liat dulu deh."
"Dari siapa sih?" Suara Nala terdengar pelan, bertanya pada Mala yang mematikan ponselnya dengan tergesa.
"Bukan siapa-siapa." Balas gadis itu dengan senyuman manis.
Nala mengangguk kecil. "Oh."
Mala menghela napas pendek, hal itu menjadi tontonan bagi Wanda, Raka, dan juga Gigi.
"Beneran bukan siapa-siapa, sayang. Klien mami, salah nomer. Malah ke aku."
Nala tersenyum miring. Tidak kentara, tapi Wanda berhasil melihatnya.
"Iya, aku tau."
"Posesif lo, najis." Seru Gigi dari tempat duduknya.
"Biasanya yang posesif rawan selingkuh. Ati-ati lo, Mal." Goda Raka dengan cengiran jahil.
"Ih, Raka!"
Mereka tertawa, Wanda ikut tertawa. Dengan perasaan bersalah yang melubang di hatinya semakin dalam.
Shit.
—
Gavian masih belum sadarkan diri. Telepon dari dirinya masih selalu diangkat Bi Asih. Biaya tagihan rumah sakit sedikit naik karena beberapa obat harus di tebus. Sialannya, Gavian sama sekali tidak memiliki asuransi ataupun tabungan.
Wanda memutar otak, ia harus mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Gavian. Sekalipun setengah dirinya memberontak ingin membiarkan Gavian mati, tapi nuraninya masih berfungsi baik.
Setidaknya, mereka harus menderita bersama. Gavian harus membayar utangnya pada Wanda.
Memilih pulang kerumah, Wanda merutuki dirinya sendiri. Ini tengah malam. Dan bagaimana bisa justru pemandangan menjijikan itu yang harus dilihatnya pertama kali saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Get your room, bitch. Ew." Desisnya pelan seraya berlari naik.
Mama Wanda gelagapan membetulkan dress tidurnya yang berantakan. Sedangkan lelaki diatasnya berdiri dengan terburu seraya kembali memakai pakaiannya yang telah tercecer.
"Wanda!"
Teriakan mama nya terdengar bertepatan Wanda menutup pintu kamar. Ia menghela napas pendek. Perasaan jijik yang melingkupi dirinya saat ini terkadang akan susah sembuh.
Melihat papanya bermain dengan salah satu simpanannya kala usianya belasan tahun dulu saja, perlu sekitar tiga tahun untuk menormalkan perasaan aneh itu. Dan sialnya, kini hal itu terjadi lagi.
"Wanda." Suara mamanya terdengar lagi, kali ini sepertinya mamanya berada di depan pintu kamarnya.
Wanda berdeham kecil. Membalas seadanya.
"Wanda, buka!"
"Gak! Gue lagi males ribut." Ia berseru sedikit keras, seraya menutupi kedua matanya menggunakan lengan. Tubuh lelahnya terbaring diatas ranjang, mencoba mencari ketenangan meskipun nihil.
"Wanda, buka!"
"Iya gue ga akan ganggu!" Kali ini ia berteriak. Dan mencoba memejamkan mata. Mengatur napasnya yang sesak secara tiba-tiba.
"Main yaudah main aja. Anggep gue ga ada!" Lanjutnya. Lantas kembali mengatur napas, karena air matanya telah menggenang dipelupuk.
Semuanya menyakitkan. Nala, mama, papa, Gavian.
Bibir Wanda bergemetar, menahan isakan yang hampir lolos.
Gue– gue ga akan ganggu. Tapi boleh ga si gue minta peluk, sekali aja, Ma? Gue capek, ma. Gue sama Gavian capek.
—
"Kamu kenapa sih jadi jarang ke apart aku? Mana kalo ketemu jadi kayak bete gitu mukanya." Mala mengerucutkan bibir, seraya memainkan jemarinya pada dada bidang Nala yang tanpa busana.
"Aku sibuk, banyak proyek baru. Terus kemarin, papa aku sempet nawarin ke luar negri juga. Bingung, Mal. Jadi jarang ke apart kamu deh. Maaf ya."
"Keluar negri? Ngapain?" Kepala Mala mendongak, mencari tatapan teduh Nala.
"Ngurus salah satu proyek perusahaannya disana. Tapi kan aku aja lagi kelabakan gini sama photografi, masa malah diajak kesana."
"Tapi kan urusan perusahaan juga penting. Kenapa malah kamu mentingin yang lain sih?"
Sebelah alis Nala terangkat. "Hm? Maksudnya?"
Mala menjilat bibir bawahnya sekilas. "Maksud aku, perusahaan kan juga penting. Kenapa, kamu malah lebih berat ke photografi?"
"Perusahaan kalau nggak ada aku ada papa, di photografi nggak ada aku, kurang dong orangnya. Kenapa sih? Kamu nggak suka ya?"
Mala menggeleng ribut. "Enggak, bukan gitu maksud aku, Nala. Cuman–"
"Mami kamu pasti lebih setuju kalo misal aku ikut papa aku kan? Kamu mau bahas itu kan?"
"No. Nala apaan sih, aku nggak bahas mami aku sama sekali loh."
Nala tersenyum tipis. "I know. Nggak usah cemberut gitu dong."
Perempuan itu menghela napas pendek. Ia lantas kembali menyamankan posisinya didekapan Nala. Begitu jemarinya menyusuri bahu lelaki itu, ia menemukan sebuah luka baru. Hampir seperti sebuah cakaran.
"Ini kenapa?" Tanya Mala, pelan. Mengesampingkan perasaan kalutnya yang termakan omongan teman-temannya pasal perselingkuhan.
"Mana? Oh, gatel. Kemarin kuku aku panjang, eh gatau nya malah jadi luka."
"Ck, kebiasaan banget ceroboh."
Nala terkekeh kecil, mengecup wajah Mala. "Iya, maaf ya sayang."
🚫🚫🚫
Ada yang nungguin sayaa gaa??
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictionNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...