Langkah kaki Wanda terburu, tapi jarak pagar rumah menuju kamar Bi Asih terasa sangat jauh. Padahal secepat mungkin ia memacu langkah kakinya.
Mata Wanda disambut pertama kali dengan pemandangan sebuah guci yang ia tau berharga kisaran milyaran rupiah, pecah. Berserakan disekitar tangga. Sofa-sofa bergeseran. Ia sempat menahan napasnya saat melihat sebuah tongkat bisbol dengan darah mengering.
Tapi mengalihkan pikirannya, Wanda segera kembali berlari menuju ruangan Bi Asih dibagian belakang rumah. Pintu ruangan itu terbuka, ada Bi Asih dan Pak Agus yang terlihat dari kejauhan.
Wanda segera merangsek masuk. Ia menahan napasnya saat melihat tubuh Gavian yang parah. Matanya bengkak, pipinya tergores cukup dalam. Beberapa bagian tubuh lainnya memar.
Begitupula dengan Bi Asih. Pipinya terlihat terluka, seperti bekas gambar tangan. Wanda benar-benar menahan napasnya. Orangtuanya pasangan gila. Mereka gila.
"B– Bi."
"Maaf non. Maaf. Saya nggak berani telpon ambulan."
Wanda mengalihkan pandangan. Malu. Keadaan Gavian parah, bahkan ia sangsi jika lelaki ini bisa jadi tengah kritis.
"Papa ngapain kalian?" Tanyanya pelan setelah berhasil mengendalikan diri.
"Den Gav ketauan balapan, non. Den Gav ketauan main cewek juga. Bapak marah, saya nggak berani dengar. Saya cuman kesana waktu dengar Den Gav teriak kesakitan."
Wanda menarik napas pelan. Ia beranjak berdiri dan menghubungi ambulan.
"Panggil dokter saja non. Kalau bapak tau–"
"Gue penjarain dia. Jagain Gavian, Bi." Ucapan Wanda terdengar sangat tegas, meski ia sendiri ragu. Tidak ada jaminan dari ucapan nya barusan. Bahkan bisa jadi itu hanya bualan.
Wanda keluar dari kamar Bi Asih, tergesa menuju ke lantai dua. Tapi langkahnya lagi-lagi terhenti saat mendengar suara tidak senonoh dari pintu kamar papanya diujung lantai. Harus setelah melakukan semua kekacauan ini? Harus setelah hampir membunuh darah dagingnya sendiri?
Perempuan itu bimbang, lebih baik melanjutkan langkah dan menjadi korban selanjutnya. Atau kembali ke kamar Bi Asih dan membawa Gavian pergi. Semuanya beresiko.
Mengumpulkan keberanian, Wanda memilih opsi pertama. Biarlah ia mati, asal semua ikut dengannya ke neraka.
"Pa." Panggilnya pelan.
Suara didalam sana terhenti. Disertai decakan kecewa karena terganggu, mungkin. Tidak lagi memanggil, berselang beberapa saat suara itu kembali ada. Wanda menghela napas pendek. Ia segera memilih menuju ruang kerja papanya yang berada di seberang kamar Gavian.
Setidaknya ia harus membawa uang untuk pengobatan Gavian. Masuk ke dalam, Wanda menemukan sejumlah uang di dalam laci. Menuliskan sebuah note, ia tak sengaja menemukan sebuah bukti transfer yang membuatnya terdiam cukup lama.
Kenara. Kenara Harjanto? Bukannya itu nama sekre hima?
Mengabaikan nama itu, Wanda segera menulis sebuah note kecil di tempat ia mengambil uang itu.
This 10 doesn't mean to you, right?
Suara sirine ambulan yang terdengar segera membawanya keluar dari ruangan itu. Ia berjalan tergesa, turun ke lantai satu dan meminta Gavian dibawa dari arah belakang saja.
"Bibi pulang aja. Pak Agus juga. Biar nanti aku transfer bayaran kalian. Makasih udah nelpon aku, Bi."
"Jangan pikirin bayaran kami, jaga diri non. Jaga diri." Balas pak Agus. Wanda hanya mengangguk dan segera menutup pintu ambulan. Katakan ia tidak beradab, karena memang begitu adanya. Setidaknya mengucapkan terimakasih tadi sudah cukup baik menurutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictionNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...