24. Problem

207 26 0
                                    

Sudah seminggu sejak Gavian sadar dari kritisnya. Sejak saat itu pula Wanda melarang Bi Asih untuk terlalu sering berkunjung ke rumah sakit. Karena khawatir papa mereka akan menanyakan mengapa Bi Asih jarang berada dirumah.

Meski mungkin akan terdengar aneh, karena mengapa papa lebih menanyakan keberadaan Bi Asih daripada Gavian. Sederhana, Bi Asih lebih papa butuhkan daripada Gavian.

Wanda berjalan lesu keluar kelas, kini ia sendirian. Mala dan Gigi mengacuhkannya. Meski beberapa kali Mala berniat akan menghampirinya, Gigi lebih dulu menarik perempuan itu pergi. Dan membiarkan Wanda sendirian.

"Mau ke kantin?" Suara yang tak lagi asing itu menyapa rungu Wanda.

Si puan menoleh, tersenyum tipis. "Iya. Lo mau rapat?" Tanyanya balik.

Aidan mengangguk pelan. Dan bertepatan saat itu, Gigi melintas didepan mereka. Melempar tatapan sengit pada Wanda dan berlalu pergi begitu saja. Aidan tersenyum tipis.

"Udah putus ya dia?"

Kepala Wanda seperti terbentur tembok dengan kuat. Menyadari jika Aidan yang membuatnya tau semua ini.

"Lo–" tapi lagi-lagi Wanda tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Terlalu banyak pertanyaan yang berjubelan didalam kepalanya.

"Ayo ke kantin." Ajak lelaki itu, mengabaikan wajah Wanda yang penuh rasa ingin tau dan kesal yang bercampur menjadi satu.

"Gigi," Wanda melangkah cepat menuju Gigi yang kebetulan sedang memesan makanan bersama Raka. Tapi lagi, perempuan itu mengabaikannya. Raka dibelakangnya pun hanya mampu mengulas senyuman tipis. Serba salah.

Menghela napas pendek, Wanda kembali menoleh kearah Aidan disampingnya yang menepuk pundaknya. Seolah mengatakan tak perlu khawatir mengenai Gigi.

"Dia butuh waktu. Gapapa." Ujar lelaki itu.

Duduk berdua di kursi kantin, dengan keadaan yang terbuka. Maka banyaklah desas-desus yang muncul mengenai Wanda dan Aidan. Si lelaki sempurna idaman semua kaum hawa, kini telah menemukan tulang rusuknya.

Perempuan misterius itu kini memiliki pendamping dalam sendirinya.

Aidan hanya terkekeh kala Wanda menceritakan hal yang didengarnya.

Katanya, "Ya nggak masalah. Hiburan."

Ditengah serunya obrolan dan sedapnya semangkuk bakso, ponsel Wanda berdering. Nomor asing.

Ia mengangkat panggilan itu setelah Aidan mengizinkannya. Dan selanjutnya, makian pelan keluar dari belah bibirnya. Dengan tergesa Wanda beranjak berdiri. Berpamitan ala kadarnya pada Aidan dan segera berlari keluar kantin.

Bahkan tidak peduli dengan Nala dan Mala yang barusaja masuk kedalam kantin.

Wanda menyimpan makian selanjutnya untuk lelaki yang ia temukan tengah merokok santai diujung gedung. Keinginannya untuk mendorong lelaki itu sangat besar, tapi ia simpan lebih dulu. Memakinya dan menimbulkan sedikit keributan mungkin akan terasa lebih seru.

"Bangsat. Kita semua panik nyariin lo. Bisa-bisanya lo–"

"Kita? Siapa aja emang? Bukannya lo doang? Oh, pihak rs? Butuh duit banget ya mereka." Tanya Gavian santai seraya menggugurkan abu rokoknya. Masih dengan wajah penuh bekas lebam dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

"Gav." Wanda menekan nadanya bicara. Kepalang kesal.

"Kenapa? Gue ga ada duit kalo buat nuker lo."

"Gavian! Bisa nggak sih lo nggak buat gue menderita sekali aja!" Bentakan itu akhirnya lolos. Dada Wanda kembang kempis, menahan amarah.

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang