27. Darker

221 25 0
                                    

Gigi kembali membuka kaleng sodanya yang ketiga. Yang dengan cekatan dicegah oleh Raka dan digantikan dengan air mineral yang sempat dibeli lelaki itu sebelum kemari.

"Apaan sih." Gerutu Gigi.

"Lo udah dari seminggu yang lalu cola mulu. Ga baik, Gi. Lo sakit sampe tipes pun Jean nggak bakal balik sama lo. Peduliin diri lo sendiri."

"Ck. Gue emang pengen. Bukan galauin Jean."

Bohong. Ia jelas-jelas menenggak cola dari seminggu yang lalu karena ingin melampiaskan sakit hatinya. Seenaknya sendiri Jean lebih memilih Karin daripada dirinya yang telah menemani segala suka duka lelaki itu.

Padahal jelas cakep gue. Buta emang cowok kalo selingkuh. Malu-maluin.

Biasanya, jika ada Wanda bersamanya ia akan minum alkohol. Dengan toleransi alkohol Wanda yang tinggi, ia tak perlu khawatir mereka akan terdampar di tempat aneh jika minum sama banyaknya. Tapi jika hanya dengan Raka, bahaya.

Di depan mereka, Mala tak hentinya mengecek ponselnya. Berharap ada satu saja notif memunculkan nama Nala.

"Kenapa sih? Berantem lagi?" Tanya Gigi yang menyadari raut wajah khawatir milik Mala.

"Kenapa lagi kali ini?" Sahut Raka

Perempuan lugu itu mengangguk kecil seraya menghembuskan napas panjang. "Mami. Mami jodohin gue sama Kenan."

Raka tersedak minumannya. Gigi melotot tak percaya. "Kok bisa?!" Pekik mereka berdua bersamaan.

"Mami nggak mau tau soal Nala. Mami maunya gue sama cowok yang, ya you know kan Mami gue gimana."

"Tapi kan Nala lebih kaya dari Kenan." Gigi menyahut tak terima.

"Tapi dia selalu sibuk sama kamera. Gamau nunjukin ke Mami kalo dia juga bisa. Makanya mami ragu."

"Karena itu doang? Terus? Putus kalian?" Raka yang kali ini bertanya heboh.

"Enggak, tapi Nala ninggalin gue dalam keadaan marah. Gue– takut putus sama dia."

Mereka bertiga menghela napas panjang. Gigi menatap gadis itu prihatin, meski kondisinya sendiri tak jauh lebih baik.

"Lo, masih marah sama Wanda ya Gi?" Tapi Mala kembali memecah hening. Seluruh atensi teralihkan menuju Gigi yang kemudian menatap mereka bergantian dengan kikuk.

"G– ga. Cuman kesel aja. Dia tau semuanya, tapi sama sekali ga ngomong sama gue. Gimana ga kesel coba. Dia masih bisa ketawa enak sedangkan dia tau gue bakal nangis-nangis besoknya."

Mala mengulum bibir. "Iya sih, gue kalo jadi lo bakal kesel juga. Tapi by the way, gue nggak pernah tau dia deket sama Jean. Kok dia bisa tau?"

"Ya taulah, orang selingkuhnya aja di gedung dia. Karin kan di unit bawah dia."

"Jean sama sekali ga minta maaf sama lo, Gi?" Tanya Raka pelan.

"Terakhir ketemu gue bogem dia. Kapok mungkin, gue juga males."

Mereka mengangguk-angguk pelan.

"Tapi Wanda mana ya? Biasanya dia lewat sama Aidan waktu lo jauh sama dia ini."

Gigi ikut menolehkan pandangan, mencari kesekeliling kantin akan eksistensi Wanda Ayu yang raib begitu saja.

"Bolos mungkin. Sering kan dia." Sahut Gigi pada akhirnya.

Mereka kembali mengobrol, sembari memesan minuman baru untuk lebih memperpanjang pembicaraan. Sepi, itu yang sebenarnya mereka rasakan saat ini. Biasanya ada Jean, Wanda, dan Nala. Tapi sekarang hanya ada mereka bertiga.

"Lepas. Gue kelas." Wanda sekali lagi mencoba meregangkan lingkar lengan Nala yang begitu erat di tubuhnya. Berdecak kecil karena Nala justru semakin mengeratkan dekapannya.

"Please. Sebentar lagi." Bisik Nala pelan.

"Gue telat. Lepas, Nal."

Nala menggeleng. "Jangan tinggalin gue, Wan."

Hening kembali. Perdebatan mereka semalam seolah tak membuahkan hasil apapun. Nala masih dengan perhatian abu-abunya yang jelas samar di mata Wanda. Dan segala tingkah laku Nala bagi Wanda adalah kepalsuan.

Mereka seolah berjalan pada es yang tipis demi menemukan jawaban atas pertanyaan lirih Wanda yang tak henti terulang. 'Kita ini apa?'

"Nal,"

"Aku janji nggak akan–"

"Bukan soal Mala atau hubungan lo sama dia. Tapi ayo berhenti, gue capek."

"Kenapa?" Nala beranjak, menahan kepalanya dengan sikut dan menatap mata Wanda yang terpancar sayu.

"Gue capek. Lo butuh alesan apa lagi? Gue capek sama semuanya. Gue takut kalo semisal–"

"Bukannya itu resiko kita dari awal? Kenapa baru takut sekarang?"

Wanda mendorong Nala menjauh, beranjak duduk dan menatap dalam lelaki yang ingin ia rengkuh dalam keadaan yang lebih baik ini. "Lo–"

"Can we stop arguing about it? Pisah, berhenti, break up, or whatever you named it. Gue ga mau. Gue mau lo, dari awal gue cuman mau lo." Nala menekan nadanya berbicara. Menegaskan pada puan dihadapannya akan kesungguhan perasaannya.

"Ya? Please, Wanda." Tangannya kini beralih, menggenggam kedua tangan Wanda yang hangat.

Perempuan itu memalingkan wajah, menghela napas panjang dan enggan menatap Nala yang kini mengecup buku jemarinya.

"Jadi kelas? Aku bantu kamu beres-beres." Tawar Nala setelah merasa jika diam Wanda adalah iya atas pertanyaannya. Batinnya kembali bersorak senang. Wanda masih miliknya dan harus tetap menjadi miliknya.

Wanda merutuki dirinya sendiri yang niatnya ingin melarikan diri tapi lupa akan keadaan tubuhnya yang remuk. Untuk menutupi pergelangan tangan dan leher, ia memakai sweater lengan panjang yang panas ditengah cuaca yang terik.

Turun dari mobil Nala di halaman parkir, membuatnya memikirkan alasan terbaik sepanjang berjalan menuju kelas. Masih dengan perasaan was-was jika sewaktu-waktu Mala akan muncul.

"Loh, Wan. Sakit?" Langkah Wanda terhenti, begitupun Nala dibelakangnya. Kenara berhenti beberapa langkah didepannya. Memang sengaja menyambangi dirinya yang barusaja datang ke kampus. Terlambat setengah jam dari jadwal.

"Enggak. Kenapa?" Dahi Wanda berkerut, menatap aneh dan keheranan kearah Kenara yang memakai pakaian branded dari ujung kaki hingga kepala. Busuk banget anjir.

"Kelas kosong, kalo sakit lo balik aja. Kasian badan lo."

Dengan wajah datarnya, Wanda mengangguk kecil.

"Oiya, Aidan di kelas tadi kalo lo mau nyariin. Duluan ya."

Sekali lagi Wanda hanya mengangguk. Lantas membiarkan perempuan itu berlalu dari hadapannya.

"Kenapa harus Aidan?"

Bola mata Wanda berotasi. "Bacot." Balasnya lirih lantas segera berjalan menjauh.

Wanda sengaja melewati kantin, dan ia menemukan teman-temannya disana. Pandangannya sekilas bertemu dengan Gigi, tapi perempuan itu segera memalingkan wajah dan enggan menatap balik kearahnya. Raka hanya mampu terdiam, sedangkan Mala lebih dulu mengejar Nala yang dilihatnya berjalan menuju ruang photografi.


🚫🚫🚫

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang