32. Empty

225 32 1
                                    

Aidan berjalan cepat memasuki sebuah rumah besar yang telah lama tak ia kunjungi. Tanpa memperdulikan sapaan hormat pada maid yang berdiri di ambang pintu, ia segera memacu langkahnya untuk menuju ke lantai dua.

Ada nenek nya disana, duduk di tepi ranjang sembari mengusap-usap punggung putri semata wayangnya.

"Udah pulang, Dan?" Sapa neneknya pelan. Lelaki itu mengangguk dan melangkah mendekat.

"Mama gimana, nek?" Tanyanya kemudian.

"Mogok makan. Nenek juga bingung."

Ada hela napas panjang yang terdengar setelah hening merambati. Mengakhiri perbincangan yang baru saja dimulai. Perempuan lansia yang masih memiliki gurat kecantikan jelas di wajahnya itu beranjak berdiri. Memberikan ruang untuk pasangan putra dan ibu itu berbincang.

Setelah hanya berdua disana, Aidan duduk di tempat semula neneknya singgahi. Berusaha menahan gejolak rindu ingin mendekap perempuan yang telah membawanya lahir ke dunia meski turut serta menorehkan luka di hatinya.

"Ma?" Panggilnya pelan. Pilihan mati pernah Aidan layangkan ketika mengetahui orangtuanya akan berpisah. Tapi tak pernah ia sangka, rasanya jauh lebih menyakitkan saat melihat perempuan terkasihnya hidup bagai tanpa jiwa.

Apa yang sebenarnya membuat mamanya sebegini menderitanya akan sebuah perpisahan, Aidan tak pernah tau. Sebesar apa perasaan yang perempuan itu simpan untuk lelaki yang tiap malam ia sumpahi itu, Aidan tidak pernah tau.

"Mama udah makan?"

Kisah seperti apa yang pernah mereka lewati, Aidan bahkan tak pernah dengar. Tapi kehampaan yang perlahan menghinggapi jiwa perempuan ini seperti tengah menjelaskan seberapa berharganya lelaki yang harus Aidan panggil papa itu.

"Nanti." Jawab mamanya pelan, lantas berbaring dan memunggungi Aidan.

"Mama mau jalan-jalan?"

Kenapa keadaan jadi terbalik begini, Aidan sama sekali tak menemukan jawaban. Selama hidupnya, mungkin ia memang melakukan banyak pembangkangan untuk perempuan di hadapannya saat ini. Dan kali ini, ada secercah harapan untuk menebusnya yang muncul perlahan dalam benak.

Sekali lagi perempuan itu menggeleng atas ajakan Aidan. Termenung lama lantas kembali terisak seraya menggenggam erat sebuah foto lawas.

Aidan terdiam, mencoba untuk mengendalikan diri dan tidak membiarkan egonya menang. Jika pernah ada perasaan ingin melihat kehancuran kedua orangtuanya, maka itu adalah dulu. Sekarang yang ia inginkan hanya melihat wanita ini kembali pada hidupnya.

Karena masih memiliki dirinya. Masih ada dirinya.

Please, back to me, Ma.

Setelah cukup lama Aidan berdiam diri disana, ia akhirnya beranjak berdiri dan berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Memberikan waktu bagi mamanya untuk menyendiri, berharap jika wanitanya itu akan terus baik-baik saja. Karena bagaimanapun, nomor satu adalah ibu.

Langkahnya yang berat terhenti di beberapa meter sebelum pintu unit miliknya. Seorang lelaki yang masih mengenakan setelan rapi berdiri di ambang pintu, menanti kehadirannya. Alis Aidan berkerut, lelaki itu salah satu karyawan papanya.

"Aidan." Sapa lelaki itu saat melihat Aidan telah datang.

Aidan berjalan mendekat dan bertanya. Mempertanyakan sebuah serat undangan yang disodorkan pada dirinya. "Apa ini?"

"Undangan makan malam dari bapak." Bapak adalah papanya.

Senyum miring Aidan terbit. "Sampein om, Aidan males."

mistake [selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang