"Mala!"
Sekujur tubuh Wanda seperti hilang fungsi kendali saat telinganya justru mendengar nama itu yang keluar dari bibir Nala when he reached his climax. Nafsu-nafsu yang semula mengudara lenyap begitu saja.
"Maafin aku, sayang." Bisik Nala, sembari mengistirahatkan tubuhnya disamping Wanda.
Perempuan itu melepaskan lengan yang melingkar di pinggangnya dengan cukup kasar. Beranjak tergesa, mengambil bathrobe dan rokok yang tergeletak diatas meja seraya berjalan keluar kamar.
Umpatan yang Wanda tujukan pada Nala jelas tidak akan pernah cukup sekadar melalui kata-kata. Rokok di apitan jemarinya pun sepertinya tidak akan cukup untuk menenangkan hatinya.
Sakit hati ternyata sebegini ngilunya. Rokok di dalam bungkus yang baru saja dibukanya itu hanya tersisa tiga batang. Tapi pikirannya masih berisik. Hatinya bahkan masih terasa sakit.
Bangsat.
Sekali lagi umpatan itu keluar. Wanda mengusap hidungnya yang berair karena dingin menerpa tubuhnya yang memang hanya berbalut bathrobe. Anggap saja begitu, karena mata sembab itu beruntunglah dapat tersembunyi dengan baik.
Persoalan ini padahal telah selesai dan mendapatkan jawaban mutlaknya. Tidak boleh membawa nama Mala kedalam hubungan ini lagi. Biarkan hal ini tetap menjadi rahasia bagi mereka berdua. Biarkan tuhan yang nantinya akan memberikan hukuman.
Menghembuskan pelan napasnya, Wanda tak sadar jika sedari tadi dadanya terasa sesak. Ia terjatuh pada perangkap buatannya sendiri. Perjanjian tidak melibatkan perasaan yang pernah dicemoohnya kini ia telan bulat-bulat.
Menyelesaikan satu batang terakhir rokoknya, perempuan itu akhirnya memilih masuk. Mengabaikan Nala yang masih belum membersihkan diri, ia masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan air dingin dan membiarkan tubuhnya terguyur air shower.
Detik itu juga, isakannya perlahan mulai muncul.
Sakit banget, anjing. Lemah. Wanda lemah banget. Cinta tai anjing. Nggak. Nala mana pernah cinta sama gua. Bullshit.
Tangan Wanda secara tidak sadar berulang kali mengusap air yang mengalir di wajahnya, air dari shower dan dari mata.
Bangsat.
Sekali lagi.
Wanda sungguh tidak pernah peduli siapa yang selalu Nala bicarakan setiap jumpa mereka dalam keadaan baik-baik saja. Cerita apapun, tentang si ayu Mala. Wanda tidak pernah peduli. Tapi semenjak pembicaraan sialan yang menurutnya memuakkan itu membuat segalanya rumit.
Perasaannya semakin menjadi-jadi. Egonya semakin merasa menang atas Nala.
Wanda membuka matanya begitu merasa air dingin berubah menjadi air hangat perlahan menyentuh kepalanya. Ia menoleh kebelakang dan menemukan Nala berdiri dibelakangnya.
Saat akan melangkah keluar, lelaki itu justru mencekal lengannya. "Gue bisa jelasin."
Wanda mengangguk cepat. "Gue tau. Dingin, lepasin."
"Lo nggak tau."
Mata mereka bertemu. Apa yang Wanda tidak tau? Apa yang Wanda lewatkan, dari ia yang mengetahui jika Nala terkadang sulit membedakan pandangan mata milik Mala atau Wanda.
Meski pembawaan keduanya berbeda. Pancaran mata mereka atas nama cinta yang sama sering kali membuat Nala kesulitan sendiri.
Nala menghembuskan napas pelan, tapi terdengar hingga telinga Wanda. Terlihat menimbang sesuatu sebelum berbicara.
"Lo nggak tau, Wanda. Lo nggak tau–"
"Kalo gitu anggep aja gue tau. Dingin, lepasin."
Dengan terpaksa Nala melepaskan cekalan tangannya pada lengan Wanda. Membiarkan gadis itu meninggalkannya sendirian dengan pikiran yang belum sepenuhnya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictionNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...