• i'm home.
• i'm okay, Wanda.
• don't worry.Setelah membaca pesan yang masuk melalui bar notifikasi nya, Wanda mengendarai mobil Aidan bagai tanpa aturan. Secepatnya, ia harus tiba di rumah. Mengucapkan jutaan maaf atas nama Kusma Ayuni. Merapalkan ribuan ampun meski harus dalam simpuh sujud.
Apapun. Apapun untuk menebus hidup bahagia Aidan kembali.
Aidan si sempurna itu tak pernah memperlihatkan emosi yang sedang bergelora dalam dirinya. Si sempurna itu selalu setenang air yang tak beriak. Secepat apapun ikan yang berenang di dalamnya, permukaannya akan selalu tenang. Sebergemuruh apapun segala emosi dalam benaknya, Aidan selalu terlihat tenang.
Senyuman penuh ketulusan, pandangan mata yang teduh dan penuh ketegasan. Aidan si sempurna.
Dan hari ini, Wanda melihat si sempurna itu jatuh terduduk di ruang tengah unit apartemennya. Bersimpuh, menangis sejadi-jadinya seraya menggenggam erat sebuah foto lama. Tangisannya pilu, menggaungkan luka dan duka yang telah lama terpendam dalam.
Bahkan Wanda memilih untuk menghentikan langkahnya di depan pintu. Terdiam lama seraya mati-matian menahan tangisannya agar tak ikut lolos melihat seterluka itu Aidan selama ini.
Jika wujud perasaan Aidan adalah sebuah kaca, maka yang Wanda lihat saat ini mungkin hanya tersisa serpihannya. Hancur tak berbekas. Ia kehilangan hampir separuh hidupnya. Kasihnya, cintanya.
Apa yang baik-baik saja dari kehancuran yang memilukan? Aidan terlalu sempurna, hingga kebohongannya saja pun sempat terasa sangat meyakinkan bagi Wanda. Mata Wanda panas, dan kakinya perlahan berjalan mendekat. Ikut duduk dihadapan lelaki itu, dan mengulurkan tangan. Mencari genggaman rapuh Aidan.
Sekiranya ia akan mendapatkan tolakan, maka itu saatnya untuk pergi dari sana dan memohon ampun dengan bentang jarak. Tapi yang terjadi adalah Aidan justru membalas genggamannya. Kepalanya mendongak, mempertemukan mata sembabnya dengan mata Wanda yang mulai berair.
"Maaf. Maafin mama, Dan." Bisiknya pelan. Cukup sudah ia kehilangan, jangan lagi. Tapi jika Aidan menginginkannya pergi, akan ia lakukan.
Aidan menggeleng kecil. Ini bukan salah Wanda, perempuan yang dulu dikenal tak memiliki nurani itu selalu tepat dengan dugaannya. Wanda masih berhati, Wanda masih memiliki nurani.
"Jangan tinggalin gue." Balas Aidan pelan.
Kenapa jatuh cinta harus semenyakitkan ini? Paras Wanda terlampau mirip dengan Kusma Ayuni, mengapa Aidan tak menyadarinya selama ini? Dan hal itu membuat luka dihatinya tergores semakin dalam. Semakin memilukan.
Kalau kutukan penyihir adalah benar adanya, maka katakan Aidan bodoh karena mencintai perempuan cantik yang tak bernurani.
"Maafin mama." Bisik Wanda, ingin mendapatkan sekali saja jawaban atas ucapan itu. Guna memastikan, pantaskah dirinya bertahan. Sebelum semuanya terlalu jauh. Sebelum perasaannya benar-benar jatuh.
Aidan mengangguk pelan. Lantas merangsek pada pelukan Wanda yang ragu. Menangis disana, didekapan perempuan yang dengan sakit ia cintai. Sebegini berdosanya ia kala jatuh cinta. Bersanding dengan dendam tak terbalaskan, bertahta pada perasaan tak berkepastian.
Pelan, lengan Wanda terulur. Mengeratkan pelukannya dan membiarkan Aidan menangis. Si sempurna itu, akhirnya terlihat kurangnya. Meski begitu, ia tetaplah si sempurna dengan segala hancur dirinya.
—
Wanda kembali ke apartemen miliknya sendiri guna memberikan Aidan waktu untuk sendirian. Sepanjang sisa hari, ia hanya melamun di balkon kamar. Menikmati secangkir kopi yang telah lama ia tinggalkan karena lebih memilih alkohol.
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake [selesai] ✔
FanfictieNala, manusia dengan sejuta ego nya. Menomorsatukan ego diatas segalanya. Bahkan terkadang menjadikan Wanda sebagai pemuas ego nya yang kelaparan. Tidak peduli dengan amukan kekasihnya, ego harus tetap nomor satu. Wanda, menjadi tempat pelampiasan a...