ILUSI - 10

84.7K 6.8K 436
                                    




"Lo nggak kasian sama gue?" lirih Raline yang suaranya telah berubah serak.

Setelah puluhan makian dan sumpah serapah yang panjangnya nyaris menyamai ruas jalan tol Cipali, Raline kelelahan. Apalagi ia juga sempat melempari Langga dengan benda apa saja yang bisa diraihnya. Jadilah sekarang perempuan bersuara merdu itu terdampar di balkon kamarnya.

Udara di dalam terasa panas saat melewati tenggorokannya sehingga dadanya seperti terbakar. Dingin dalam pelukan malam, Raline harap bisa sedikit mengobati.

"Gue tau nggak pernah ada sedikit pun rasa cinta di hati lo buat gue." Raline duduk di lantai dengan menekuk kedua lututnya, sementara kepalanya bersandar di tembok pembatas. "Tapi sebagai orang yang pernah deket sama lo, apa sama sekali nggak ada rasa iba buat gue?"

Tiada lagi nada tinggi nan kasar, yang keluar dari bibir Raline kini sebuah kepedihan yang lama terpendam.

Duduk bersila persis di hadapan sang istri, Langga lantas mengambil tangan perempuan itu untuk digenggamnya. Raline tak berontak, ia biarkan saja telapak tangan kanannya memperoleh sedikit kehangatan.

"Okelah ... nggak perlu sebagai orang yang pernah deket, at least ... sebagai sesama manusia. Apa lo lupa kalo gue juga manusia biasa?" Pertahanan Raline runtuh. Kepedihannya tak hanya terlontar dalam bentuk kata, tapi juga tetesan air mata. "Seburuk apa gue sampe lo berdua mikir kalo gue layak disakiti terus-terusan?"

"Jangan bicara seperti itu, please ...," sela Langga sebelum menunduk. Jauh lebih baik baginya melihat Raline dengan tampang garang disertai caci maki yang ditujukan untuknya daripada menyaksikan sosok istrinya dalam mode sedih dan terluka.

"Lo pikir gue sekuat wonder woman yang sanggup mikul beban sakit yang sebegitu besarnya?" Semakin berusaha ditahan, air mata Raline malah berbondong-bondong keluar. Alirannya kian cepat tak terkendali. "For your information ... gue nggak pernah baik-baik aja selama ini, gue nggak pernah baik-baik aja ...."

Siapa yang akan baik-baik saja ketika secara tiba-tiba semua kebahagiaan dan ketenangan hidup seolah direnggut paksa?

Raline benar-benar sendirian sewaktu meninggalkan kampung halaman. Ia berjuang di kejamnya kehidupan ibu kota hanya bermodal suara. Hingga di bulan ketiga, takdir membawanya bertemu Alvianto di sebuah kafe. Ia kemudian diajari banyak hal sampai bisa seperti saat ini.

Tertatih-tatih ... juga tanpa kasih sayang dan dukungan orang-orang terdekat bukanlah perkara yang mudah.

"Lepasin gue, please ... biarin gue hidup tenang. Gue udah nggak punya hati lagi buat lo mainin terus lo hancurin setelahnya."

Dugaan Raline perihal kedatangan Langga yang akan menceraikannya ternyata salah besar. Lelaki itu justru ingin mempertahankan pernikahan mereka, entah untuk tujuan apa. Dan jelas saja, ia tak terima. Rumah tangga mereka bagi Raline tak pernah ada, bagaimana mungkin mendadak harus berdiri begitu nyata?

Sadar bahwa ia tak mungkin menang melawan Langga, Raline tak punya pilihan selain meminta. Ia hanyalah seorang pekerja seni yang tak memiliki daya apa-apa dibandingkan sang suami dengan segala kekayaan dan kekuasaannya.

Langga menggeleng pelan. Dari dulu, satu permintaan Raline ini yang tak sanggup ia kabulkan. Diciuminya punggung tangan sang istri sebelum berkata, "Maafkan keegoisan saya ...."

Raline memejam, membiarkan dunia di sekitarnya menghitam. Pernyataan Langga bagaikan vonis dari dokter kepada pasiennya tentang kesempatan hidup yang kian menipis karena penyakit yang sudah kronis.

ILUSI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang