"Anak kurangajar!"
Selain berbakat dalam bidang tarik suara, ternyata sekarang Raline juga ahli dalam hal berkelit. Sepasang sepatu yang sepertinya kepunyaan Rendra yang dilemparkan ke arahnya oleh Anita berhasil dihindarinya meski susah payah. Ia berlarian ke sana ke mari saat perempuan yang melahirkannya itu kembali melayangkan dua buah sandal yang tergeletak di lantai ruang tamu.
"Dasar bandeeellll!!!!" teriak Anita lagi. Kali ini, ia menyambar sebuah vas bunga yang terbuat dari keramik. Ukurannya lumayan besar, dengan tinggi sekitar tiga puluh senti meter.
Melihat itu, Raline menelan salivanya berat lalu bergegas menuju tempat paling aman menurutnya yaitu bersembunyi di belakang tubuh Langga yang masih mematung di ambang pintu.
Langga syok menyaksikan peperangan antara ibu dan anak tersebut? Tentu tidak. Kejadian seperti itu bukan hal baru bagi Langga. Dulu, ia sering sekali mendapati Raline sedang berlari dikejar Anita yang mengacungkan gagang sapu ketika dirinya hendak menjemput Raline untuk bernyanyi di café.
Interaksi itu ... justru memunculkan senyum tipis di kedua sudut bibir Langga.
"Minggir, Nak Langga!" perintah Anita yang napasnya sudah terhela pendek-pendek. "Anak nakal ini kudu dikasih pelajaran!"
Keyakinan bahwa sang ibu mertua tak mungkin melemparkan vas bunga ke badannya atau badan Raline membuat Langga tetap bertahan di posisinya. Ia tahu persis, Anita tidak mungkin tega melukai mereka.
Walaupun terlihat kejam dan bermulut pedas, namun sebenarnya Anita adalah ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Pernah suatu hari, Raline mengalami kecelakaan, jatuh dari sepeda motor. Raline cuma menderita luka gores di siku tangan kanannya, luka yang bisa dikatakan sangat ringan, tapi Anita yang khawatir berlebihan malah terus-terusan menangis dan meminta sang putri dibawa ke rumah sakit.
"Ibu bilang minggir!" Tangan Anita yang memegang vas bunga, sejajar dengan kepala, siap menyerang detik itu juga.
Apa yang tengah dilakukan Anita sekarang, mungkin hanyalah salah satu bentuk kekecewaan. Selama tiga tahun ini, ibu mertuanya sering sekali bertanya, Kenapa Raline tak pernah pulang? Atau sekedar datang mengunjunginya? Dan Langga tak dapat menjawab pertanyaan tersebut.
"Jangan minggir! Gue belum mau mati!" Raline memejamkan matanya, kedua tangannya langsung melingkar di perut Langga ketika dirasakannya sang suami hendak bergerak maju.
Berada di tengah-tengah dua orang yang sedang bersitegang, harusnya menimbulkan kepanikan, tapi tidak begitu yang dirasakan oleh Langga. Lelaki itu justru senang karena merasa Raline membutuhkannya.
"Tenang ...." Langga mencoba menghadirkan rasa nyaman lewat elusan ibu jarinya di punggung tangan sang istri. "Saya akan selalu melindungi kamu ...," ucapnya seraya menahan senyum.
"Minggir, Nak Langga!" seru Anita sekali lagi. Tapi ketika Langga mengabaikan ucapannya dan tetap bergeming untuk melindungi Raline, ia merasa kalah. Diletakkannya vas bunga ke tempat semula. Anita lalu duduk di sofa, mengatur napasnya yang nyaris putus. Usia menjadikan dirinya mudah lelah.
Merasa Anita sudah lebih tenang, Langga memutar tubuhnya. Ia belai lembut kepala Raline yang posisinya sekarang menempel di dadanya. "Minta maaflah ... saya yakin beliau sebenarnya nggak marah ...," bisiknya di telinga sang istri.
Raline sedikit mendongak kemudian menatapnya penuh keraguan. "Saya tahu kamu lebih kenal Ibu dibanding saya ... saya tahu kamu juga paham seberapa besar beliau menyayangi kamu ...," lanjut Langga sembari berusaha melepaskan belitan tangan Raline di pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomansaBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.