Saat kembali ke ballroom, tempat bernuansa biru langit itu telah dipadati oleh ratusan manusia. Dari yang tengah lahap menyantap makanan, sampai ada yang sedang berjejer untuk naik ke atas pelaminan.
Raline memposisikan telapak tangan kirinya untuk menutupi sebagian pipi, hidung, serta mulutnya. Ia berharap tak dikenali. Malas rasanya harus menyapa dan berramah tamah dengan penggemar di situasi seperti sekarang ini.
"Kenapa lama sekali?" tanya Langga begitu Raline berdiri di sebelah kursinya.
Setelah berkeliling, akhirnya Raline menemukan Langga di sebuah meja yang letaknya di ujung kanan depan. Lelaki itu tengah mengobrol dengan seorang pria yang kelihatan punggungnya saja.
"Gue cariin lo!" Raline langsung duduk ketika sebuah kursi, Langga tarik ke belakang untuknya. "Tadi 'kan lo di sana!" tunjuknya ke arah tempat di mana ia meninggalkan Langga.
Langga menangkup satu tangan istrinya yang ada di atas meja. "Maaf ...," katanya sembari mengelus pelan.
Jurus lama itu kini terbukti ampuh. Kekesalan Raline yang tadinya tampak jelas, berangsur menyusut.
Padahal Langga sudah mengirimkan pesan yang memberitahu kalau ia ada di meja bagian depan. Kalau saja sang istri membacanya, maka perempuan cantik itu mestinya tak perlu berputar-putar agar menemukannya.
"Gue dikacangin nih ceritanya?"
Nada asing itu membuat Raline menoleh. Berjarak satu kursi di samping Langga, ia dapati wajah pemuda yang akhir-akhir ini memberondongnya dengan chat-chat receh dan tak penting, khas pejantan yang tengah mencari mangsa.
"Ini Elgan," ucap Langga memperkenalkan pria itu pada istrinya. "Sepupu saya."
Tanpa minat, Raline menerima uluran tangan dari Elgan.
"Istri saya namanya Raline." Langga beralih menatap saudaranya dengan senyum tipis.
"Gue udah tau ...," sahut Elgan semangat, "siapa, sih, di Indonesia yang nggak kenal sama Sara Ibrahim? Penyanyi cantik bersuara merdu yang digilai banyak laki-laki. Beruntung banget lo, Mas."
Langga terkekeh kecil, sementara Raline malah mengistirahatkan punggungnya di sandaran kursi, tampak tak acuh pada pujian yang disematkan untuknya. Raline sangat tidak menyukai manusia sejenis Elgan. Pemuda itu jelas sudah tahu kalau ia adalah istri suadaranya sendiri, tapi kenapa masih didekati?
Bukannya Raline terlalu percaya diri, tapi sebagai pensiunan buaya betina, ia jelas bisa menangkap gelagat Elgan yang tak biasa. Dari pesan-pesan pria itu, juga caranya memandang Raline, tersirat maksud tertentu.
"Kalian udah nikah lama, ya? Maaf pas itu gue nggak bisa dateng." Tatapan Elgan benar-benar terkunci pada sang biduwanita. Ia agaknya tak peduli jikalau nanti Langga menyadari ketertarikannya pada Raline. Elgan tahu rumah tangga saudaranya bukan seperti pernikahan pada umumnya. Jadi ia merasa memiliki celah untuk menyusup masuk.
"It's ok, kami memang belum sempat adain resepsi." Langga yang menjawab santai.
Pernikahan Raline dan Langga tiga tahun silam, hanya dihadiri oleh keluarga inti dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga besar beserta tetangga-tetangga dari pihak pengantin perempuan. Saudara-saudara Langga yang lain apalagi yang tak menetap di Surabaya seperti Elgan, baru mendengar kabar adanya pernikahan setelah acara tersebut selesai.
"Rencananya berapa lama kalian di sini?" Elgan agaknya tipe laki-laki yang banyak bicara. "Sebagai tuan rumah ...." Sejak sang kakek sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, memutuskan untuk lengser dari jabatannya di perusahaan, Elgan jadi menetap di kota kelahiran Raline, lantaran harus menempati kursi yang Langga tinggalkan. "Gue siap—"
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomanceBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.