"Ck!" Raline mengepalkan kedua tangannya. Ia geram lantaran Langga mengikutinya bagai anak balita yang takut ditinggalkan oleh ibunya. "Lo tadi bilang lagi sibuk, kenapa sekarang ngintilin gue, sih?" Kaki-kaki Raline bergantian menghentak tanah.
"Ini sudah malam, kamu mau ke mana?"
Sebetulnya pekerjaan yang harus Langga selesaikan sebelum pagi memang masih menumpuk, tapi melihat sang istri keluar dari kamar sambil mengantongi dompet kecil, ia lekas membuntuti. Alasannya? Tentu saja karena ia khawatir. Pergi dari rumah pada waktu yang semestinya digunakan untuk beristirahat pastinya bukanlah hal yang bagus.
"Dalam perjanjian kita, lo nggak boleh ikut campur urusan gue!" tegas Raline dengan pelototan tajam.
Tentang perjanjian tadi pagi ... Raline sejujurnya malas mengungkitnya lagi. Selain kesepakatan yang sebenarnya banyak merugikan pihaknya, ia juga kesal sebab merasa kalah dan harus menuruti permintaan dari suaminya.
Namun, jelas tidak ada opsi lain yang bisa ia pilih. Bukan hanya tentang nama baiknya di dunia hiburan yang akan tercoreng, tapi yang lebih ia takutkan adalah ancaman Langga yang tak mau lagi mengurusi keluarganya di kampung halaman.
Sejak Raline pergi dari rumah orang tuanya, Langga-lah yang menggantikan posisinya sebagai anak dan kakak dari seorang adik laki-laki. Tidak hanya dari segi finansial, dukungan moral dan perhatian pun selalu Langga curahkan.
Jadi, atas nama kasih dan sayang untuk keluarga, Raline rela menerima Langga di rumahnya dengan tangan terbuka asalkan suaminya itu tak ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Tapi ini sudah malam," ulang Langga lembut selembut sorot matanya. "Saya khawatir."
Raline memutar bola matanya dua kali. "Basi lo!" Percuma terus-terusan mendebat sang suami, ia berbalik badan dan mulai mengambil langkah meninggalkan halaman rumahnya. Ia tahu Langga mengekori, tapi ia biarkan saja.
Telapak tangannya kemudian mendadak terasa diselimuti hangat yang pekat, dan lagi-lagi ia mencoba tak peduli.
"Kalau you masih terus-terusan marah dan ngusir dese, artinya you belum move on, Wak ... Masih ada cinta di hati you!"
Sekilas Raline melirik genggaman tangan mereka, tak ada gelenyar-gelenyar aneh yang menyerang hatinya, mungkin artinya ... tempat Langga sudah tak di sana. Ia telah berhasil mengirim pria itu ke belakang, sebagai kenangan.
Gue udah move on, Tante ... liat nih gue udah bisa jalan berdampingan sama dia dalam keadaan baik-baik aja. Benak Raline tengah lega. Sepertinya masa-masa sulit sudah dilewati meski jalannya tak mudah.
Keduanya menyusuri jalan kompleks perumahan dengan sunyi yang mengelilingi, tapi nuansa berbeda ada dalam jiwa Langga. Semarak dan gegap gempita begitu terasa.
"Kita mau ke mana?" tanya Langga memecah keheningan malam ketika mereka sampai di depan gerbang yang menghadap jalan raya.
Raline menunjuk sebuah warung tenda di seberang jalan dengan telunjuk tangan kiri. "Noh! Gue mau makan bakmie jowo. Udah sana lo pulang aja!"
Pengusiran Raline bagi Langga takkan pernah bisa menghentikan tekadnya yang setinggi puncak himalaya. Alih-alih kembali ke rumah, suami si biduwanita justru menyampirkan lengannya ke bahu sang istri lalu bersiap membawa perempuan itu menyeberang.
"Apaan, sih, lo!" Raline bebaskan badannya dari belenggu tangan Langga. Ia lekas memasuki tenda yang sudah sepi pembeli. "Pak, pesan kayak biasa, minumnya juga," katanya pada si penjual.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomanceBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.