Mata Raline masih memerah dan sedikit membengkak. Padahal dari rumah ia sudah bertekad tak akan menangis di pusara sang ayah, namun pada kenyataannya begitu sulit ia menahan laju air matanya agar tak tumpah.
Segala kenangan baik manis maupun pahit terlintas silih berganti ketika ia menunduk sembari menatap kosong pada batu nisan. Memori tentang masa kecilnya yang berada dalam gendongan Wisnu, juga bayangan lelaki tercintanya itu manakala terbaring tak berdaya di ruangan ICU.
Raline terpekur ... menyesali keadaannya yang belum bisa memberikan kebahagiaan untuk ayahnya.
Selepas dari makam Wisnu, Raline mengunjungi peristirahatan terakhir ibu kandung Langga yang letaknya cukup jauh dari kediamannya.
Di samping makam mertuanya, Raline tak menangis. Apa yang mesti ia tangisi jika bertemu saja mereka tak pernah? Ia hanya melantunkan doa-doa panjang, berterima kasih karena perempuan cantik itu sudah melahirkan laki-laki sesabar Langga, serta memohon maaf atas sikap-sikap buruknya, terutama perihal takdir yang membuatnya menyeret Langga menuju masa depan yang suram.
Tak ketinggalan, Raline juga sempat membayangkan seandainya ia mempunyai hidung yang dimiliki oleh almarhumah, pastinya ia akan menjadi perempuan paling sempurna se-Indonesia Raya.
Pagi-pagi sekali tadi mereka pergi, jadi saat kembali ke rumah jarum jam yang pendek masih menunjuk ke angka delapan.
"Ndra, temenin gue, yuk ...." Raline langsung menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di halaman samping. Kursi yang terbuat dari kayu jati tersebut tertata bersama sebuah meja di bawah pohon mangga. Rendra sedang bermain gitar di sisi kirinya, sedangkan Langga belum selesai memarkir mobil.
Hari ini sekolah Rendra libur. Bukan hari minggu tapi bertepatan dengan hari besar nasional.
"Ke mana?" tanya Rendra diiringi petikan dawai gitarnya.
Jika Raline bersuara merdu dan ahli dalam olah vocal, sang adik mempunyai kemampuan dalam bidang alat musik. Darah seni itu berasal dari keluarga besar Anita. Kakek mereka adalah seorang dalang, sementara sang nenek dulunya berprofesi sebagai sinden.
"Gue pengen bubur ayam yang deket pasar." Dulu Raline sering makan di sana. Salah satu warung bubur ayam favoritnya itu sudah berjualan sejak dirinya masih balita.
Rendra melirik sebentar. "Lah ... lo dari kota bukannya lewat situ? Kenapa nggak mampir?"
"Pengen makan sama lo." Raline mencari-cari alasan yang sekiranya masuk akal. "Udah lama kita nggak pernah pergi berdua 'kan?" Ia lalu melesat turun, membawa ranting yang baru dipetiknya ke tempat sampah. Ranting itu menjalar terlalu rendah, tadi sempat menusuk tengkuknya.
"Males, ah, gue belum mandi." Hari libur dan mandi dalam hidup Rendra sepertinya sudah lama bermusuhan. Ia hanya akan mengguyur tubuhnya jika Anita memberikan titah. "Sama Mas Langga aja, sana!"
"Apa, Ren?" Langga muncul seusai memastikan bahwa semua ban mobilnya tidak ada yang kempes. Tadi ia sempat merasakan kendaraannya sedikit bergoyang.
Rendra menoleh pada Raline yang berjalan dari tempat sampah. "Ituh ... Mba Raline minta ditemenin makan bubur ayam."
Langga mendekati sang istri yang sekarang berdiri di sebelah bangku kayu. "Ayo," ajaknya sambil membelai pipi. "Mau makan bubur di mana?"
Raline berdecak ke arah adiknya. "Gue ngajakin lo!" katanya pada Rendra yang tengah memeluk gitar berwarna cokelat.
"Itu suami lo mau, ngapa kudu sama gue?!"
Diluruskannya lagi kepala menghadap Langga. "Biasanya gue ditinggal pergi gitu aja kalo gue udah turun dari mobil," sindirnya, "atau kalo nggak dia tetep di mobil, gue disuruh makan sendirian kayak orang ilang." Raline menatap sang suami tanpa berkedip, seolah-olah sedang memindahkan kenangan buruk itu via sorot matanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomanceBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.