ILUSI - 18

75.4K 6.7K 432
                                    




"Tan, lo kenal pengusaha yang namanya Dimas?"

Raline dan Alvi sedang duduk santai di ruang tengah pada suatu sore. Televisi di depan sofa yang mereka pakai, menyala dan bervolume rendah. Di atas meja, ada satu kotak cake dari merk ternama bersanding dengan dua gelas jus strawberry.

"Kayaknya akika baru denger deh, Wak ... sapose dese? Crazy rich baru?" Alvi mencomot sepotong cake bertabur keju.

Keduanya yang duduk berdekatan, memudahkan Raline untuk memperlihatkan layar ponselnya. "Ini, loh ...," ujarnya sembari mengulir pelan. "Dia DM-in gue mulu."

Beberapa foto di media sosial laki-laki yang tengah Raline tunjukkan, tak dikenali oleh Alvi. "Akika kayaknya belum pernah ketemu dese, deh ...." Alvi lanjut menggigit kuenya. Sedikit demi sedikit, ia juga mengunyahnya perlahan layaknya putri keraton.

"Masa, sih?" tanya Raline sangsi. "Minggu kemaren gue kenalan di wedding-nya Nathalie. Alvi juga turut hadir di acara tersebut. Mereka pergi bertiga dengan Langga, dan sewaktu sang suami pamit ke toilet, pria bernama Dimas menyapanya. "Gue pikir lo kenal, Tan ... ngakunya pengusaha batu bara."

Alvi mengelap tangannya dengan tisu. "Nggak kenal akika, Wak ... tapi lumayan ganteng, sih." Lalu, jus strawaberry, diminumnya seperempat gelas. "Kenaposeh? You suka?"

"Suka, sih, belum ... gue mau selidikin dulu, dia kaya beneran apa nggak. Takutnya pura-pura kaya lagi." Bak detektif profesional, Raline mencari informasi di semua akun media sosial si pengusaha batu bara. "Tapi emang ganteng, sih, Tan ... keturunan Chinese kayaknya deh."

"Buat apose, sih, Wak?" Maksud Alvi, untuk apa Raline masih menanggapi pesan dari pria lain, apalagi sampai benar-benar mencari tahu latar belakangnya di saat perempuan itu sudah memiliki suami yang sempurna. "You udah punya Pak Langga," katanya serius.

Raline mencebik. "Ah, lo, Tan ... tau sendiri 'kan hubungan kami kayak apa? Nggak yakin gue dia bakalan pertahanin gue lama-lama. Setelah rasa bersalahnya ilang, dia pasti pergi, Tan ...." Raline menyahut enteng.

"Akika rasa ...." Si manajer melipat satu kakinya di atas sofa, badannya miring ke arah Raline. "Kalian kudu bicara dari hati ke hati, Wak ... dan please ... jangan pake emosi." Disentilnya kening Raline pelan. "You jangan merong-merong terus, nanti cepet tuir."

"Ah, males gue ngomong sama dia ...."

Tanpa mereka berdua sadari, Langga sudah ada di tempat itu sejak sang istri membicarakan tentang laki-laki lain. Ia berdiri beberapa meter di belakang sofa.

Langga buang lelah raga dan jiwanya bersama dengan embusan udara dari hidung. Pria itu kemudian melangkah, ketika badannya telah menepel di bagian belakang sofa, tangannya terulur untuk membelai puncak kepala istrinya.

"Saya pergi dulu ...."

Menoleh ke belakang, Raline lakukan sembari mengernyit. Suaminya itu baru pulang dari kantor setengah jam yang lalu, mau pergi ke mana lagi sekarang? Penampilannya cukup santai. Celana pendek selutut dan kemeja putih, artinya ... bukan untuk urusan pekerjaan. Lagipula hanya tas selempang kecil yang ada di bahunya.

"Pergi, ya, tinggal pergi aja ...."

Tiga minggu tinggal bersama, sepertinya memang belum berhasil membuat Raline lebih jinak. Perempuan itu masih mempertahankan mode singa yang siap menerjang mangsa.

Tangan Langga setia menempel di kepala istrinya. "Dua hari saya di sana."

Di sana? Di mana? Ah, Raline baru ingat. Kemarin Langga memberitahu kalau laki-laki itu akan pulang ke Surabaya. Katanya ada urusan pekerjaan yang mendesak, tapi Raline yakin alasan yang sebenarnya bukan itu. Kemungkinan besar, berkaitan dengan acara pernikahan. Bisa jadi fitting baju pengantin atau mempersiapkan mahar. Acara tersebut diadakan satu minggu dari sekarang.

ILUSI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang