Di dunia ini, ada beberapa manusia yang dilahirkan dengan kemampuan olah kata di atas rata-rata manusia pada umumnya. Mereka-mereka ini ahli dalam hal mengintimidasi lawan bicara hanya dengan satu atau dua kalimat saja. Ada juga orang yang tak mempunyai pengaruh sebesar itu, tapi suka sekali membagikan isi hatinya pada teman terdekat. Apa pun mereka ceritakan, termasuk masalah percintaan. Namun, diantara jenis-jenis manusia seperti mereka. Ada pula keturunan Adam yang lebih senang menjadi pendengar. Bagi manusia golongan itu, menyuarakan pikiran sekaligus keinginan jauh lebih sulit daripada menghitung jumlah bintang di langit.
Contoh manusia jenis terakhir itu adalah Erlangga dan Sheva. Sama-sama si irit bicara yang mengubah dunia Raline dalam satu kedipan mata.
Kernyitan tak urung mampir di kening Raline. Langga hendak mengungkapkan sesuatu, jelas merupakan hal yang baru. Setidaknya baginya, entah kalau laki-laki itu kerap kali berbagi hati dengan Eva, ia tak tahu menahu.
"Kalo mau ngomong ya ngomong aja!" Sejenak terhenti karena semangkuk bakmie datang menyambangi, Raline lalu menyambung lagi. "Mau percaya atau enggak itu urusan gue!"
Raline mengambil sumpit yang tertata apik di sebuah wadah, kemudian menyobek pembungkusnya. Ia tak lagi memindai gelagat sang suami yang kentara sekali tengah gelisah.
"Nggak usah ngomong kalo lo ragu." Sumpit, Raline letakkan di mangkuk. Ia lantas menggunakan sendok untuk merasai kuah kekuningan yang bercampur dengan telur. Pedas, asin, dan hangat, langsung menyerbu lidahnya. "Paling juga omongan lo nggak penting!"
Embusan napas berat, mengawali rangkaian kata yang terucap dengan lirihnya. "Tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta saya."
Menoleh sembari melemparkan tatapan tak suka, Raline kemudian mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Pede banget lo!"
"Tiga tahun ... saya rela hanya mengintai dari jauh. Tiga tahun ... saya menahan diri untuk tidak menyentuh. Tiga tahun ... saya dipaksa menelan rasa sakit karena hadirnya orang ketiga yang tidak hanya sekali ... berkali-kali."
Siapa pun yang mendengar suara bernada rendah itu pasti akan ikut terharu dan mungkin dapat meresapi kesedihan yang menguar kental. Tapi ... tidak dengan Raline.
"Kamu tidak akan menemukan cinta yang lebih besar dari milik saya."
Brak!
Kuah bakmie langsung berceceran di meja lantaran guncangan yang cukup keras. Tak ubahnya si kuah panas, kopi dan teh hangat juga bernasib serupa.
Tangan Raline terkepal seusai menggebrak meja kayu itu. Ia juga sudah menyerongkan tubuhnya agar dapat memberikan sorot tajamnya pada sesosok makhluk berstatus suami yang menyalakan api amarah dalam dirinya.
"Maksud lo apa ngomong gitu, hah?" Intonasi Raline meninggi, bahkan sampai membuat sepasang suami istri di sudut tenda terlonjak kaget. Untung saja dalam tempat kecil tersebut hanya ada mereka berempat. Akan menjadi masalah besar seandainya ada seseorang yang merekam aksi sang penyanyi lalu mengunggahnya di media sosial.
"Lo nyalahin gue? Atas dasar apa? Gue nggak tau tentang pembatalan pernikahan kita yang gagal. Kalo aja gue tau dari dulu, udah pasti gue langsung ngajuin gugatan cerai! Jadi bukan salah gue kalo lo sama Eva nggak bisa bersatu selama ini. Lo yang mempersulit keadaan!"
Kehidupan Eva semenjak Raline memutuskan untuk pindah ke ibu kota, tidak lagi ia ikuti. Perihal hubungan sahabatnya itu dengan Langga pun ia memilih menutup mata dan telinga. Yang dirinya ketahui cuma Eva masih bekerja di perusahaan keluarga besar Erlangga, hingga kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomanceBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.