"WOW ... behind the scene syuting kemarin trending di youtube, Wak ...." Alvi melompat-lompat girang, kedua tangannya terangkat, persis seperti anak remaja yang baru saja mendapatkan pesan cinta dari sang idola. "Padahal baru beberapa jam looohhh," sambungnya masih dengan nada teramat ceria.
Proses pengambilan gambar untuk video clip memakan waktu selama tiga hari, dan berakhir pada sore tadi. Sebenarnya tak akan menjadi selama itu, kalau saja Raline tidak berulang melakukan kesalahan.
Lelah bergerak, ia merebahkan badan besarnya ke ranjang, tertelungkup sambil men-scroll layar untuk membaca komentar dari netizen satu per satu.
"Gilak, semuanya pada nanyain Pak Langga, Wak ... akika bacain, ya?"
Menunggu beberapa saat tapi tak juga ada sahutan, Alvi lantas menelengkan kepala, Raline yang diajaknya bicara dari tadi, ternyata masih serius menatapi ponsel. Sekali mengerjap sebelum lebih memperdalam penglihatan, ia dapat mengetahui jika pandangan Raline kosong.
Alvi lekas beranjak, dalam helaan napasnya, ia mengingat satu pesan yang belum lama masuk ke nomornya.
[Tolong jaga dia baik-baik]
[Saya harus pergi]
Ah, Raline ... perempuan dengan emosi yang meledak-ledak layaknya petasan itu sejatinya merupakan sosok yang sangat rapuh.
"Wak ...." Disentuhnya bahu Raline pelan. "Kenawhy?"
Bagai sadar dari sihir, Raline tampak linglung. "Apa?" tanyanya spontan sebab telinganya tak menangkap jelas perkataan dari sang manajer.
"You melamun, akika ajakin ngobrol dari tadi nggak nyahut." Si gemulai lantas ikut menempati sofa.
Memejam, Raline hirup udara di sekelilingnya, lama. "Dia barusan ngabarin gue." Kelopak matanya kemudian kembali terbuka. "Besok malam acara pertunangannya, bulan depan nikah."
"Sapose?"
"Eva," jawab Raline getir. "Dia pengen gue dateng." Hubungannya dengan Eva memang tak seerat dulu, tapi juga tak benar-benar terputus.
Alvi bingung, tanggapan apa yang harus ia kemukakan?
Kisah tentang cinta segitiga maut itu sudah ia khatamkan. Dirinya bahkan tahu dari dua belah pihak. Namun, tetap saja Alvi kesulitan untuk memberikan pendapat.
"Terus? You mau dateng?" Akhirnya justru kalimat tanya yang Alvi lontarkan.
Jawaban dari Raline hanya sebuah kedikkan bahu. Ia belum dapat memutuskan, mau menghadapi masa lalunya dengan resiko akan membuka lagi lukanya, kemudian semua bisa disebutnya hanyalah kenangan atau tetap menghindar supaya hatinya tampak tegar.
Raline lalu menunduk dan ia baru menyadari jika jaket milik lelaki itu masih menempel di pinggangnya.
"Pantes ... dia buru-buru pergi," gumamnya pada diri sendiri tapi suara itu ternyata juga didengar oleh Alvi.
"Sapose yang pergi, Wak?"
Meski pikiran Alvi telah menebak siapakah gerangan yang Raline maksud, tapi mulutnya tetap saja bertanya.
Seolah lemas dan tak memiliki daya, Raline berdiri. "Si bangsat, siapa lagi?"
Tepat, tebakan Alvi tak salah. "Mungkin dese ada kerjaan penting, Wak. Punya perusahaan gede 'kan kata you. Syibuk dong pastinya."
Raline lepaskan sesuatu yang meliliti pinggangnya. Aroma Langga terlalu menyengat di benda tersebut, dan itu membuatnya mual. "Dia calon pengantin prianya, Tan!" balasnya sembari melemparkan jaket ke tempat sampah.

KAMU SEDANG MEMBACA
ILUSI (Tamat)
RomanceBagaimana mungkin Raline akan baik-baik saja, jika tepat setelah pesta pernikahannya berakhir, dia mengetahui fakta bahwa sang suami ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Part masih lengkap.