ILUSI - 12

75.2K 7.1K 525
                                    




Langga menepati janjinya tadi pagi. Ia sampai di rumah sebelum malam bertahta. Ketika turun dari kendaraan roda empatnya, pria itu sempat memamerkan setangkai mawar merah pada senja yang masih bertengger di singgasana.

Langkah pastinya terayun panjang-panjang. Kamar menjadi tujuan utamanya lantaran tak menemukan keberadaan sang istri di ruang tamu dan ruang keluarga.

Kenop pintu diputarnya perlahan, dan segera saja ia dapati Raline ada di tengah ruangan itu, sedang duduk santai sembari mengobrol via handphone entah dengan siapa.


"Kamu tau nggak apa yang barusan terjadi?!"

Selepas menghabiskan sekitar sepuluh menit di toilet, Langga lekas kembali ke meja di mana ia meninggalkan Raline bersama makan malam mereka.

"Langga tiba-tiba aja bilang mau nikahin aku!"

Pria tinggi berpotongan cepak itu lalu sengaja berdiam diri beberapa meter di belakang kekasihnya. Tidak ingin mengganggu pembicaraan Raline dengan seseorang yang ia tebak adalah Eva.

Kenapa Raline tak mengatakan 'melamar'? Sebab pembahasan perihal pernikahan memang sudah sangat sering sekali perempuan itu kemukakan. Permintaan ayah kandungnya yang tengah dalam kondisi kesehatan yang memburuk melatarbelakangi permintaan Raline untuk segera dinikahi. Namun, Langga belum pernah betul-betul merasa siap menyanggupi.

"Arrrgggghhh ...." Raline berteriak kecil seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya. Euforia perempuan itu benar-benar terasa. Terbang ke segala penjuru restoran dan sebagian hinggap di dada Langga.

"Ya ampun, Eva ... aku seneng banget! Seneennggg banggeeettt!!!"

Benar bukan tebakan Langga, orang yang ada di seberang sambungan merupakan sahabat Raline satu-satunya. Orang itu juga yang telah berhasil membujuknya untuk mengambil sebuah keputusan besar.

Entah ini benar atau salah, Langga tak tahu, tapi yang ia pahami, dirinya gelisah menyaksikan kebahagiaan Raline yang begitu nyata. Perempuan dengan pemikiran yang polos itu mestinya tak ia tipu mentah-mentah.

Haruskah ia meralat ucapannya lalu menunggu sedikit lagi sampai keinginan untuk menikahi betul-betul muncul dari hatinya sendiri? Tapi ... kapan waktu itu akan datang? Ia tak dapat menjawabnya dengan pasti.

"Aku udah bisa ngebayangin, nanti pas dia pulang dari kantor, aku bakalan bawain tasnya, cium tangannya, terus dia balik cium keningku. Dia mandi setelah aku siapin air anget, abis itu kita makan malam berdua. Astaga, Eva ... aku nggak bisa berenti senyum. Gimana, dong?"

Dan pikiran tentang meralat ucapan, mendadak menguap begitu saja. Langga tak tega jika harus menghancurkan impian Raline yang mungkin bisa dikatakan sangatlah sederhana.

"Gitu aja aku udah seneng banget, nggak perlulah kata-kata puitis atau sikap romantis. Pokoknya asal dia yang jadi suamiku, aku udah bahagia."

Lalu, kalimat terakhir sebelum Raline mengakhiri sesi curahan hatinya dengan Eva tersebut, menyalakan titik-titik rasa bersalah di hati Langga.

Benarkah Raline akan bahagia jika menikah dengannya?

Sanggupkah ia membuat impian sederhana itu jadi nyata?


Dua pertanyaan itu menggantung begitu saja di udara beberapa waktu silam. Langga tidak mampu meski hanya sekedar menyemai jawaban semu. Ia memilih menguburnya kemudian berharap semuanya akan baik-baik saja.

ILUSI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang