3. Tamu untuk singgah

2.4K 107 4
                                    

Tidak ada angkutan umum di lingkungan Zay, siang ini dia memutuskan untuk pulang jalan kaki, sendiri. Tak mungkin jika harus menunggu Dea yang hari ini pulang sore.

Meskipun jaraknya lumayan, setengah jam juga pasti akan sampai, tak peduli terik yang masih menyengat. Mau nebeng pun, dengan siapa? Zay tak sedekat itu dengan teman-temannya hingga bisa leluasa meminta bantuan, takut temannya juga sibuk.

Terkadang Zay bosan dengan hidupnya yang monoton, kesehariannya itu-itu saja, tidak ada kegiatan sama sekali. Zay merasa sudah menjadi beban hidup untuk semua orang, dia hanya salah satu sampah yang memenuhi bumi, yang keberadaannya sangat perlu dibasmi. Terdengar sadis.

Berjalan di kaki jalan selama setengah jam tak lebih lelah dari berjalan mengikuti alur hidup yang entah bagaimana.

Pintu rumah terbuka? Apa bunda sudah pulang? Zay segera masuk untuk menyambutnya.

Melihat anak kecil yang berada di ruang tamu membuat Zay kebingungan, dia terus memanggil bunda sampai bunda menjawab.

"Zay pulang, udah makan?"

"Anak itu siapa bun?"

"Oh iya, El sini .. kenalin ini kak Zay, anaknya bunda,"

Anak kecil yang sedari tadi sibuk dengan mainan itu berlari mendekat dan tak segan menyapa dengan menyalimi tangan Zay sopan. Sungguh pintar.

"El anak majikan bunda, untuk sementara waktu El tinggal sama kita," kata bunda seraya merapikan rambut El.

Bunda menjelaskan kalau majikannya keluar kota, dan menitipkan anaknya pada bunda, sekiranya untuk beberapa waktu.

"Akak cantik"

Zay melongo dengan mata otomatis melebar, untuk pertamakalinya dia mendapat pujian dari orang selain orang tuanya. Terlebih dibilang cantik? Oleh anak kecil? Dan–anak kecil itu selalu jujur bukan?

Tapi .. Oh! Apa El pandai menggombal?

"Makasih, El ganteng," Zay tersenyum manis.

Bunda turut tersenyum melihat El dan Zay yang cepat akrab, tentu sangat senang.

El anak yang sangat aktif, ada saja yang dia lakukan, sesaat Zay merasa lebih baik karena sedikit terhibur. Iya, El langsung nempel dengan Zay. Anak itu minta bersama Zay terus, tak mau jauh. Setelah puas bermain ditemani Zay, El sampai tertidur di kamar Zay.

Pintu kamar yang terbuka menampakkan bunda yang tersenyum ke arah El dan langsung beralih menatap putri semata wayangnya yang duduk di kursi belajar.

"Anak bunda lagi gambar apa?," bunda berjalan mendekat dan berdiri tepat di belakang Zay.

"Gambar El"

"Coba liat gambarnya," bunda meraih buku gambar di meja yang baru diletakkan Zay.

"Selalu bagus, anak bunda pinter," puji bunda,"Maaf ya, bunda belum bisa penuhin kemauan kamu," lanjut bunda lebih mengalun rendah.

"Bunda ... semua yang bunda lakuin buat aku udah lebih dari cukup kok, justru harusnya aku lebih ngerti buat nggak nyusahin dan bebanin bunda, maafin aku ya bun?"

"Enggak, nak, kamu itu tanggung jawab bunda dan bunda sama sekali nggak merasa terbebani, bunda seneng punya kamu di hidup bunda, makasih ya sudah lahir jadi anak bunda?"

"Jangan nangis bun," Zay mengusap air mata bunda yang baru saja lolos bersamaan dengan dadanya yang kian sesak menahan lelehan.

"Harusnya kamu bisa lebih dari ini kalau bunda bisa kasih fasilitas yang layak, kamu punya bakat Zay" 

Tak henti bunda menyalahkan diri yang membuat Zay juga jadi merasa sangat bersalah sebagai sumber beban pikiran bunda. Menggambar memang hal yang sering Zay lakukan di waktu luang. Ada kebahagiaan tersendiri ketika dia menggambar, terlebih saat karyanya diapresiasi. Sayangnya hobinya itu justru membuat bunda bersedih, padahal Zay sama sekali tak meminta apapun, dia tak masalah dengan kehidupan sederhananya. Sungguh.

Hingga waktu terasa begitu cepat, Zay mengobrol cukup lama dengan bunda, dia menceritakan kesehariannya agar bunda berhenti bersedih, meski yang diceritakannya kejadian menakjubkan orang lain. Tapi bunda merupakan pendengar yang baik, jadi, Zay selalu merasa nyaman bercerita.

Tidak semua orang tua bisa menjadi orang tua sekaligus sahabat untuk anaknya, beruntungnya Zay merasakannya. Semua karena bunda.

Tiba-tiba El terbangun dari tidur, sepertinya sedikit terusik dengan perbincangan Zay dan Bunda yang sesekali tertawa.

"Eh, El bangun? Mau pindah ke kamar bunda?"

Sepertinya El masih berusaha mengumpulkan nyawanya kembali, dia mengerjapkan mata beberapa kali, sangat menggemaskan.

"Aaaaa akak ..."

Zay mencubit pipi El sampai anak itu menangis, efek baru bangun jadinya sensitif.

"Ah! Bunda"

Bunda memukul lengan Zay seakan memberitahu El kalau bunda sudah membalasnya, namun Zay hanya cengengesan melihat El menangis digendongan bunda. Awalnya memang merasa bersalah, tapi asik juga menggoda anak kecil sampai menangis.

Tuhan, bahagianya sangat sederhana ya?

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang