15. Jodoh wasiat orang tua

926 54 1
                                    

"Saya akan bacakan surat wasiat dari almarhum almarhuma pak Wilan dan juga bu Mira," kata seorang notaris keluarga Zaam.

Detik ini Zay, bunda, tak lupa juga Zaam berada di ruang tamu rumah Zaam.

Notaris tersebut sudah membuat janji untuk bertemu langsung dengan Zaam, bunda, juga Zay. Aneh, Zay tidak mengerti kenapa dirinya dan bunda juga terlibat.

Sebenarnya Zay datang hanya untuk menemani El, tapi bunda tiba-tiba menyuruhnya bergabung atas permintaan notaris. Entah apa yang ingin disampaikan, apa ada sesuatu menyangkut Zay dan bunda?

"Di sini tertulis bahwa seluruh harta warisan resmi menjadi milik kedua putra pak Wilan dan ibu Mira, tapi selama Elgan masih kecil semua akan menjadi tanggung jawab Zaam sepenuhnya"

Zaam terlihat masih setia menunggu notaris itu melanjutkan.

"Selanjutnya ditujukan untuk bu Ratih, hak asuh anak-anak diberikan kepada ibu"

Bunda menangis begitu mendengar pernyataan sang notaris.

"Terakhir, almarhum dan almarhuma meminta perjodohan yang pernah dibuat dengan keluarga almarhum pak Wisnu tetap terlaksana,"

Pak Wisnu? Ayah? Perjodohan apa maksudnya? Zay pusing sekali mendengar celotehan pak notaris.

"Perjodohan apa maksudnya?," Zaam angkat suara yang Zay setujui dalam diam.

"Baik, saya jelaskan .. jadi, orang tua anda pernah membuat kesepakatan dengan keluarga almarhum pak Wisnu dan bu Ratih, mereka telah sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka. Yaitu, anda dan putri pak Wisnu, apa anda merasa keberatan?"

Putri pak Wisnu? Zay? Apa–

"Bun–"

"Iya, saya keberatan"

"Nak Zaam, Zay, maafin bunda nggak bilang sama kalian, bunda pikir perjodohannya batal, bunda cuma gamau ambil keputusan sendiri, ini menyangkut masa depan kalian," bunda menjelaskan seraya menggenggam erat tangan Zay yang berada dipangkuan.

"Ini wasiat terakhir kedua orang tua anda, jadi, sudah seharusnya anda menerima. Dan tentu bukan tanpa alasan mereka menyepakati perjodohan ini," pria paruh baya itu memberi pengertian pada Zaam akan permintaan orang tuanya.

Raut wajah Zaam sulit ditebak antara sedih, bingung, kecewa, bimbang, semua terlihat campur aduk. Berbeda dengan Zay yang masih sangat terkejut, dia tak pernah menduga ini sebelumnya.

Menikah itu hal yang sakral, tentu ini sangat serius.

Mereka bukan lagi anak kecil yang biasa bermain nikah-nikahan dan dengan asal melakukan ijab diikuti kata sah. Ini menyangkut teman masa depan.

Zaam dan Zay sama-sama sulit menerima, keduanya baru saling bertemu setelah sekian lama. Lagipula mereka pun hampir tak saling mengenal kalau bukan karena cerita bunda.

Zaam seringkali mengabaikan kehadiran Zay di rumahnya dan Zay yang juga bodo amat atas sikap cueknya, apa bisa mereka dekat?

Setelah menjadi pendengar cukup panjang, kini sang notaris sudah meninggalkan kediaman keluarga Zaam disusul dengan cowok itu yang beranjak pergi ke kamarnya, tapi tak lama dia turun dengan jaket hitam yang sudah rapi terpakai.

"Mau kemana Zaam?," bunda bertanya, sebab Zaam tak biasa pergi tanpa pamit dengannya dulu.

Zay yang tak peduli akan hal itu langsung pergi menyusul El, anak empat tahunan itu pasti kesepian bermain sendirian di kamar.

"Keluar sebentar," jawab Zaam yang masih Zay dengar dari tangga.

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang