21. Teman dekat

607 37 2
                                    

Berangkat lebih pagi dari biasanya rasanya cukup aneh, ini karena sebelumnya lebih sering berangkat saat semua siswa sudah banyak berdatangan. Sekolah masih sangat sepi bahkan kendaraan di lahan parkir masih bisa dihitung. Bagusnya, suasana lebih tenang dari biasa.

Zay berjalan menapaki gedung tiga lantai, tujuannya hanya satu, kelas.

Sampai di akhir tangga paling atas di lantai tiga, seorang siswa terlihat duduk di sudut koridor sambil bermain gitar, tepatnya di kursi dekat serambi depan ruang kelas dua belas.

Tumben pagi-pagi sudah di sekolah? Bukannya biasa antar jemput ceweknya? Oh, mungkin ceweknya sadar untuk tidak lagi menjadikan cowoknya sebagai driver ojek.

Zay memilih untuk menerobos, lagipula tujuannya ke dalam kelas bukan ingin nimbrung dengan lelaki itu. Tidak perlu malu Zay.

Baru tiba di depan kelas, langkah Zay tertahan sebab suatu hal, dia berbalik menatap cowok yang asik memetik gitar dan tanpa menyadari kehadirannya.

Zay mendekat, dan–

"Kenapa?"

Pertanyaan itu sungguh mengejutkan Zay, apa artinya Erlan mengetahui kehadirannya sejak tadi?

"Makasih," hanya satu kata itu yang mampu terucap oleh Zay.

Erlan berhenti memetik gitar, menatap Zay dengan heran.

Nyali Zay jadi menciut ditatap langsung seperti sekarang, padahal tadi juga Zay terang-terangan memandanginya. Dari jauh.

Erlan sepertinya sadar kalau Zay ingin mengatakan sesuatu, jadi, dia diam menunggu. Sampai kesabarannya ...

"Lo lama, mau ngomong apa?," Erlan berdiri berniat menghampiri temannya yang baru saja datang, anak kelas sebelah.

"Jasnya belum kering, tapi lo tenang aja besok bakal langsung dibalikin,"

cukup lama memilah kata yang pas, takut salah kata karena ada rasa grogi yang teramat sangat.

Erlan menghentikan langkahnya saat ingin masuk ke kelas sebelah, dan tanpa berbalik  Zay rasa dia mendengarkan.

"Santai aja"

Setelahnya Erlan benar-benar tertelan pintu kelas sebelah dan Zay memandanginya sebelum memutuskan untuk masuk kelas yang tadi sempat tertunda.

Waktu berjalan begitu cepat, banyak siswa-siswi berdatangan. Zay melihat jam yang melingkar di tangannya, masih ada waktu dua puluh menit sebelum bel masuk. Zay mengambil ponsel di dalam tas dan memeriksa notifikasi dari salah satu aplikasi chatting.

Dea :
Lo pindah, gak bilang-bilang?

Pesannya dikirim tidak lama, pasti Dea tau dari orang tuanya atau mungkin para tetangga. Kemarin Dea tidak menanyakan dengan siapa Zay berangkat, jadi, menurut Zay hal itu bukan masalah.

Zay sendiri lupa memberitahu kalau dia sudah tidak tinggal di sana sejak hari sabtu, bagaimana pun Dea teman dekatnya–ya paling tidak dia sudah mau Zay repotkan selama ini. Zay merasa tidak enak hati.

"Zay"

Panggilan Dea sukses membuat tatapan Zay teralihkan dari layar ponsel.

"Lo pindah kemana? Sejak kapan? Kenapa nggak bilang?," cecar Dea setelah meletakkan tas miliknya asal.

Zay suka kalau ada yang perhatian dengannya, dia terkekeh mendengar pertanyaan beruntun dari Dea yang baru saja duduk menarik bangku agar lebih dekat. Dea mengernyit melihat Zay malah mesem tak jelas.

"Lo hutang penjelasan sama gue, masa mak gue tau dari lama gue baru tau tadi njirr"

"Gue pindah dari sabtu kemarin, lo ga nanya, kan gue juga lupa"

"Ke rumahnya–"

Zay mengangguk,"Iya, rumah El"

Sudah tau kan kalau Dea tipe orang yang tidak terlalu suka mencampuri urusan orang? Dan sepertinya dia sadar kalau Zay mungkin tidak ingin banyak bicara alias over sharing. Dea memang ingin tau, tapi tau intinya saja rasanya sudah cukup. Dia bukan ingin mengulik cerita sampai ke akar-akarnya. Setidaknya sebagai teman dia memiliki simpati untuk tau keadaan temannya, cukup bersikap sewajarnya.

Jujur saja Dea memang orang yang cukup terbuka terutama pada Zay, Zay tau kisah hidup sampai kisah percintaannya. Biasanya Dea akan sangat antusias membicarakan pacarnya dan tak jarang juga Zay menjadi tempat keluh kesahnya saat dalam keadaan tidak baik, entah itu dalam hubungan keluarga atau masalah dengan pacarnya. Rasanya Zay seperti ikut ambil peran, padahal hanya sebagai teman yang mencoba mengerti.

Kata Dea, Zay cukup tertutup, jadi, dia tidak tau banyak hal tentang Zay. Padahal Zay rasa memang tidak ada hal penting lainnya, kisahnya tak semenarik itu untuk diceritakan.

Sahabat? Mereka belum pernah membicarakan soal itu, pertemanan mereka memang cukup dekat, tapi, kalau untuk menjadi sahabat?

Bukannya sama saja? Tidak perlu status penting untuk dekat dan saling support.

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang