Matahari sangat terik, cuacanya begitu cerah, tidak ada awan mendung yang terukir. Meski begitu, kita tidak akan pernah bisa memprediksinya, bisa saja sebentar lagi akan turun hujan.
"Jangan lupa, awas aja lupa"
Kalimat peringatan lelaki itu tertuju untuk temannya yang berada tepat di sampingnya.
Zay terus memperhatikan dua remaja laki-laki yang siap di atas motor masing-masing. Berada di depan gerbang sekolah, bersiap untuk meluncur ke jalan dengan arah yang berbeda.
Wajah satu orang lelaki yang diajak bicara itu sudah tertutup helm full face, tapi, Zay masih dengan jelas mengetahui siapa orangnya.
Zay berdiri di pinggir jalan dengan ponsel yang tergenggam, sekarang Zay akan diantar jemput oleh pak Toni.
Kehidupan Zay yang sekarang terlihat lebih baik, bukan berarti dia bisa berleha-leha, Zay selalu membantu bunda beres-beres, mengurus rumah besar itu.
Terkadang bunda juga masih menerima pesanan kue sebagai tambahan biaya sekolah juga untuk tabungan kuliah Zay nantinya.
Bunda punya alasan kuat untuk tetap tinggal, sahabatnya menitipkan kedua putra mereka pada bunda. Itu jelas.
Zaam memang anak yang mandiri, tapi adiknya? Zaam tidak selalu ada di sampingnya, tidak bisa memberinya perhatian layaknya orang tua, sedangkan adiknya masih sangat butuh semua itu.
Tujuh menit menunggu, sebuah mobil Nissan Elgrand berwarna hitam berhenti tepat di depan sekolah, seorang pria dengan seragam hitam khas turun dari kursi kemudi. Zay langsung menghampirinya.
"Mari mbak," pak Toni membuka bagian pintu kedua.
"Saya mau duduk di depan aja pak"
"Tapi–"
"Saya nggak suka di belakang sendirian," kata Zay lantas membuat sopir berbadan gemuk itu tersenyum.
Di dalam mobil Zay berbincang dengan pak Toni yang memberinya pertanyaan random, Zay memang tidak pandai mencari topik, biasanya dia banyak diam. Tapi kalau ditanya, dia akan dengan senang hati menjawab.
Di rumah semua sedang makan siang, setelah menyalimi bunda, Zay menyapa El dan menatap Zaam sekilas.
Zay dan Zaam seolah tidak saling mengenal, mereka baru akan bicara ketika butuh atau karena sesuatu lain yang mengharuskan mereka untuk berinteraksi.
"Zay, ayo makan," bunda berdiri dan menarikkan satu kursi untuk Zay.
"Abang kenapa nggak bareng akak? Kasian akak cantik baru pulang," El berceloteh dengan mulut penuh.
"Abang nggak ketemu"
Padahal Zay berdiri tidak jauh dari Zaam–sebelum dia melaju pergi membawa motornya, lantas bagaimana bisa Zaam tidak tahu?
"Abang sama akak bareng aja, sekolahnya sama"
"Abisin dulu makanannya, baru bicara," Zaam mengacak gemas rambut adiknya.
Zaam duduk di ujung meja makan dengan El di samping kirinya dan bunda di samping kanannya, lalu Zay di samping bunda.
"Bunda, El mau main ke rumah Affa," kata El tiba-tiba.
"Siang gini El mau main? El harus bobok sayang," bunda memberi pengertian.
"Bener kata bunda, El," tambah Zay.
"El nggak boleh keluar siang, nanti sore abang bawa El jalan-jalan"
"Janji, abang?"
Zaam mengangguk seraya tersenyum, dan tanpa Zay sadari kedua sudut bibirnya terangkat melihat interaksi kecil dua saudara itu.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 FIGURAN _________________________________________ Sebut saja Zay, seorang gadis sederhana yang hanya menjadi tokoh figuran dalam setiap cerita orang, dia hanya mengambil peran tidak penting dan menurutnya kehadir...