16. Di sekolah

618 38 2
                                    

"Ck, males banget gue," Dea banyak menggerutu saat jam pelajaran berlangsung.

"Sekarang kalian kerjakan tugasnya," perintah seorang guru Bahasa Indonesia.

"Zay, keluar yuk"

"Mager"

"Anterin ke toilet, gue yang izin"

Percakapan itu terjadi tanpa didengar bu Firda guru yang sebenarnya cukup enjoy, hanya saja beberapa pasti merasa bosan dengan pelajarannya.

"Catat dibuku tulis dan dikumpulkan, yang tidak mengerjakan ibu anggap tidak hadir"

Dea berdiri dan mengangkat tangannya,"Bu, saya izin ke toilet sama Zay, ya," Dea menginterupsi Zay, kala bu Firda sudah menganggukinya.

Sesampainya di toilet Zay berhenti,"Gue tunggu di luar ya"

"Gue cuma mau main air, sama ngaca, emang lo mau nuggu di sini sampe istirahat? Kalo bu Firda lewat, terus kita dialfa?"

"Lagian ngapain sih, balik aja mending," Zay sebenarnya malas keluar kelas, moodnya sedikit jelek.

Tak lagi ingin melanjutkan perdebatan, Dea langsung masuk ke toilet dan Zay terpaksa menyusulnya. Benar, di sana mereka bermain air di wastafel tak lupa berkaca dan bersenandung tidak jelas.

Bukan kali ini saja keduanya menghabiskan waktu di toilet sampai jam pelajaran yang menjenuhkan itu berakhir, sebelumnya juga sudah pernah.

Tapi di kelas dua belas ini mereka mulai jarang kabur dari pelajaran dan hari ini Dea terlihat tidak bersemangat. Mungkin semalam dia begadang, terlihat sekali wajah mengantuknya.

"Udah istirahat belum sih?," tanya Dea selang beberapa waktu.

"Belum, masih ada Sejarah. Lo nggak mau masuk?"

"Enggak, kalo lo mau masuk, masuk aja"

"Gue tinggal nih?"

"Iya, udah sana, keburu dialfa"

Tiba-tiba saja Dea mendorong Zay keluar, memang tidak terlalu kuat, tapi karena tak sempat mengimbangi membuat Zay hampir tersungkur, beruntung ada yang menahan tubuhnya. Tunggu–tangannya kekar? Cowok? Siapa?

"Zay sorry ..."

Lantas tangan yang berada diperut Zay terlepas, alhasil membuat gadis itu benar-benar jatuh tersungkur ke lantai.

"Awh!"

"Astaga! Zay," Dea memekik, mendekati Zay untuk membantunya berdiri.

Zay merintih menahan nyeri pada lututnya yang terbentur lantai cukup keras, tapi dia dengan sekuat tenaga berdiri.

"Harusnya lo nggak usah sok-sokan nahan, biarin Zay jatoh sekalian, dari pada makin sakit gara-gara lo"

"Udah, gue ga–lo? K-kenapa di sini?"

Jadi, Zaam? Dia yang tadi sempat menolong lalu menjatuhkan Zay begitu saja?

Tapi, untuk apa dia ada di sekolah Zay? Seragamnya? Apa dia akan sekolah di sana juga? Bukannya dia tinggal di Kalimantan?

Tidak ada jawaban, Zaam hanya diam dengan wajah datar yang tak lama kemudian berlalu begitu saja dan Zay turut menatap kepergiannya dengan sebuah ransel hitam di satu sisi bahu.

"Malah bengong, btw dia abangnya si El kan? Nggak asing sih mukanya," Dea sangat yakin dengan tebakannya dan itu diangguki Zay karena benar.

"Yaudah, kita balik kelas bareng, kasian kaki lo masih nyeri kan?"

"Udah gapapa"

"Oh yaudah," Dea berjalan lebih dulu meninggalkan Zay tertinggal. Dia itu–kenapa menyebalkan?

Tapi–

"Awh, apa lagi sih?"

Zay menabrak tubuh Dea dari belakang, pasalnya Dea berhenti mendadak membuat Zay tak sempat mengerem langkahnya–yang berusaha Zay sejajarkan.

"Sstt ... bentar"

Dea menyuruh diam dengan telunjuknya yang berada dibibir, dia sesekali melirik kearah pintu kelas sebelas yang tidak tertutup sempurna.

"Apa?"

"Liat, itu bukannya cowok tadi? Siapa sih namanya? Eh ..."

"Zaam"

"Nah, iya!"

Merasa penasaran, Zay mengintip di samping pintu mengikuti Dea. Setelahnya, Zay buru-buru menarik Dea agar pergi dari sana.

"Emang nggak salah, cakep sih itu cowok," puji Dea meski dia sedikit sebal kenapa Zay harus membawanya pergi.

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang