"Deaaa ..."
"Masuk aja," seperti biasa setelah dapat jawaban Zay memilih duduk di teras rumahnya, menunggu Dea memang lumayan lama.
Dengan sesekali melihat jam yang melingkar di tangan kanan, Zay mengetukkan jemarinya di atas lutut yang tertutup rok sekolah.
Sudah banyak orang yang berlalu lalang untuk berangkat sekolah maupun mulai bekerja. Perasaan Zay tiba-tiba tidak enak, waswas kalau sampai nanti ketahuan telat dan dihukum seperti waktu itu. Beruntungnya berhasil kabur, meski begitu Zay tetap dapat hukuman. Iya, Dea juga.
Tidak lama sebuah motor terlihat berhenti di seberang jalan rumah Dea, tunggu–itu Erlan? Seragamnya memang sama dengan Zay, tapi kan–mungkin hanya mirip.
Helm dilepas, kontak mata itu saling tatap dengan Zay, lalu saling buang muka. Zay sedikit sungkan saat bertatapan tadi, tapi entah rasa penasarannya jauh lebih besar sekarang.
Erlan, memang tidak salah lagi. Tapi, untuk apa dia di depan sana? Tunggu–di depan rumah Rara? Apa mereka? Tidak, tidak mungkin mereka pacaran kan?
Ingin sekali Zay melontarkan berbagai pertanyaan pada laki-laki yang kini duduk santai di atas motornya, tapi apa haknya? Bahkan saling mengenal sejak masa putih biru pun tak membuat mereka akrab, sekarang saja tidak ada diantara mereka yang saling sapa.
Padahal jika dilihat, Erlan cukup akrab dengan yang lain bahkan Dea, tapi dengan Zay? Kenapa terasa canggung? Padahal tidak pernah terjadi apapun, Zay juga belum pernah mengungkapkan perasaannya. Lalu kenapa?
"Zay"
"Ah elah, pagi-pagi udah ngelamun," gerutu Dea.
Klakson motor menyadarkan Zay dari lamunan bersamaan dengan seorang perempuan yang keluar dari rumahnya, bukan Dea, melainkan tetangga depan rumahnya.
"Hai! Maaf ya, lama"
Sakit, itu yang hati Zay rasakan sekarang. Meski tidak mendengar perbincangan khusus, kondisi yang terlihat sudah cukup menjelaskan semuanya.
Memendam rasa selama bertahun-tahun dengan seseorang, lalu tiba-tiba seseorang itu terang-terangan menjalin hubungan. Sebetulnya memang tidak masalah jika Erlan punya pacar, asal jangan di depan Zay, sungguh itu menyakitkan. Zay belum sepenuhnya move on.
"Pakein ...," Rara terlihat menyodorkan helmnya.
Adakah kantung plastik? Zay ingin muntah saat ini juga, tolong dia sangat geli mendengar nada manjanya.
"Yee malah liatin orang bucin lagi," Dea berdecak,"ZAYY!," sentaknya membuat Zay mengelus telinga merasa pengang.
"Anjir si Dea, gausa teriak juga kali," sahut Rara sambil geleng-geleng,"Yaudah, gue duluan ya," pamitnya yang dibalas acungan jempol oleh Dea.
Jangan pikir Zay akan ramah dengan Rara sekarang, dia masih kesal. Ayolah, dia tidak salah Zay, salahkan saja perasaanmu.
"Berangkat nggak lo?"
"Tiba-tiba nggak mood, jadi pengen bolos," gerutu Zay bersamaan naik ke jok belakang motor dan Dea yang langsung melajukannya.
"Zay?"
"ZAY"
"Hah? Iya kenapa?," Zay baru menjawab karena sedikit tak mendengar akibat di jalan.
"Menurut lo, Erlan cocok sama Rara nggak?"
"Ah, i-iya"
"Lo kenapa sih? Cemburu?"
Zay melotot terkejut,"Cemburu? Yakali, ngapain cemburu," dia lalu tertawa receh sambil mengibaskan tangannya.
"Kirain pengen kaya mereka," Dea menatap Zay lewat spion motor.
"Kalo gitu udah dari dulu gue iri sama lo, ngapain jauh-jauh ke mereka?"
"Bener juga sih," Zay bisa lihat Dea nyengir.
Ngomong-ngomong soal tadi, bukannya rumah Erlan jaraknya tidak jauh dari sekolah? Kenapa dia malah menjemput Rara yang justru membuatnya berbalik arah? Meski sekolah keduanya searah, tetap saja akan membuang waktu. Atau memang sudah tugasnya sebagai seorang pacar? Eh, pacar apa tukang ojek? Ups.
Dea kembali fokus sampai tak menyadari kalau Zay sudah sibuk berdebat dengan pikirannya alias lagi-lagi melamun.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 FIGURAN _________________________________________ Sebut saja Zay, seorang gadis sederhana yang hanya menjadi tokoh figuran dalam setiap cerita orang, dia hanya mengambil peran tidak penting dan menurutnya kehadir...