22. Pacar (?)

676 38 2
                                    

Hari ini Zay berangkat pagi lagi, dia membawa paper bag berisi jas milik Erlan. Selalu ada perasaan senang tiap kali dekat dengan lelaki itu, Zay mana mungkin bisa bohong.

Apa memang rasa sukanya masih ada? Atau hanya karena interaksi dekat, jadi, membuat Zay terbawa suasana? Tapi itu sama saja. Intinya Zay belum benar-benar move on.

Sayang sekali Zay tidak mendapati Erlan di pagi ini, cowok itu pasti telat, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Paper bag yang semula terangkat tinggi kini meluruh begitu juga dengan kedua pundak Zay yang otomatis merosot, belum ada siapapun di kelas. Apa Zay terlalu bersemangat?

Zay keluar kelas dan berdiri di dekat serambi dengan kedua tangan yang saling menumpu. Masih sangat sepi, di lapangan juga hanya terlihat beberapa siswa saja.

"HAYO!"

Zay terkejut, Dea tiba-tiba datang menepuk punggungnya.

"Dea? Tumben?," Zay menoleh ke kanan kiri bawah memastikan sesuatu yang membuat Dea bisa tiba-tiba berangkat pagi.

"Dijemput mas pacar," Dea cengengesan menjawab isi kepala Zay.

"Kok gue nggak tau? Kapan lewatnya?"

"Yang hobi ngelamun mana tau ada orang lewat"

"Apalah"

Dea turut berdiri bersisihan dengan Zay, menikmati udara pagi hari.

Dea memandangi Zay,"Lo liatin siapa? Zaam?"

"Ngaco, mana ada Zaam"

"Yang lagi main basket"

Zaam? Sejak kapan dia di sana? Perasaan tadi hanya ada dua orang dan itu bukan Zaam, apa Zay salah lihat? Dia terlanjur memandangi kearah lapangan sejak tadi, mereka jelas sadar.

"Serius lo nggak tau? Lo minus?"

"Jangan sampe deh"

"Terus?"

"Nggak ngeh, mata gue emang ke sana tapi pandangan gue kosong"

Ingin sekali Zay berteriak,"Gue nunggu Erlan ya anjir bukan liatin benda mati," tapi jangan.

"Kayanya kalo nggak bengong ada yang kurang idup lo? Kurangin ngelamun, jangan menyendiri terus, untung nggak kesambet"

"Gue sendiri karena emang nggak suka berisik," Zay tidak suka kalimat Dea barusan, maka dia sedikit jutek.

"Yaudah iya, sebenernya gue tuh dari kemarin mau cerita tapi lupa, dan sekarang gue ma–"

Kring kring

"Yaelah, baru mau mulai mumpung inget, nanti deh istirahat ke kantin," katanya tanpa Zay jawab.

Dea merangkul pundak Zay masuk ke kelas bersama banyak anak lain yang baru berdatangan.

Empat jam pelajaran diisi dengan tiga mata pelajaran, tidak apa-apa sudah biasa.

Begitu istirahat tiba seluruh siswa berhamburan keluar ingin segera mengisi energi di kantin. Biasanya meja kantin sampai penuh, stand makanan antre panjang, paling menyebalkan saat baru pesan bel masuk berbunyi, parahnya kalau sampai kehabisan. So, siapa cepat dia dapat.

Zay dan Dea kalah cepat, bangku kantin sudah penuh terisi. Itu salah satu alasan Zay tidak suka ke kantin.

"Penuh, balik aja," ajak Zay berbalik duluan, tapi Dea berhasil mencekalnya.

"Bentar," Dea mengetukkan jarinya ke dagu selama beberapa detik,"Nah! Itu Zaam sendirian, kita gabung aja," tanpa persetujuan Zay, Dea menariknya untuk ikut bersama.

Zaam ada di meja paling ujung, sendirian.

"Hai," sapa Dea ramah.

"Gue liat lo sendirian, kita gabung ya? Duduk Zay"

Belum dipersilakan, Dea sudah seenaknya duduk di depan Zaam, dia menarik tangan Zay memaksanya untuk duduk juga.

Tadi Zaam hanya menatap sekilas saat Dea menyapa, setelahnya cowok itu kembali fokus dengan layar ponsel. Dan tak menganggap sekitar ada.

Sadar atau tidak Dea berbicara sendiri, ini antara Dea yang seperti orang gila atau Zaam yang tidak bisa berbicara.

"Lo masih inget gue? Kita sering ketemu, waktu itu gue pernah ke rumah lo sama Zay, terus juga kita ketemu depan toilet cewek kemaren," jelas Dea panjang lebar.

"Kenalin dulu, nama gue Dea, lo Zaam kan?," sudah tau tapi masih tanya, Dea mengulurkan tangannya di hadapan Zaam yang tak kunjung di balas.

"Kalo gamau bales jabat tangan gue minimal jawab kek, biar gue nggak dikira gila ngomong sendiri dari tadi," akhirnya Dea kesal juga.

"Kalian siapa?"

Seorang cewek berdiri di depan meja kantin dengan nampan berisikan dua minuman dan dua makanan.

Baik Dea maupun Zay, sama-sama tak melepas pandangan dari seorang cewek yang ikut duduk bergabung di samping Zaam, tepat di hadapan Zay.

Tidak asing, Zay pernah melihatnya. Dia ini bukannya perempuan yang dibonceng Zaam waktu berangkat sekolah kemarin?

"Kak Dea? Mantan leader cheers?"

Dea mengangguk meski tidak kenal,"Lo siapa?"

"Gue Nadin, pacarnya Zaam," cewek dengan rambut sebahu itu seperti sengaja ingin memberitahu Dea dan Zay.

Detik itu juga Zaam beranjak seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana, tak lupa satu tangannya yang tetap setia di masukkan. Membuat satu meja kebingungan dengan kepergiannya yang tiba-tiba, apalagi dengan gerakan yang sedikit kasar tadi.

"Mau kemana Zaam? Ini makanannya baru aku pesenin," tidak ada jawaban, semakin lama Zaam menghilang tak terpandang.

"Lo beneran pacarnya? Sejak kapan pacaran?"

"Sejak gue kenal Zaam, kenapa? Kalian juga kenal sama pacar gue?"

"Kita–"

"Enggak," Zay memotong cepat ucapan Dea.

"Terus kalian kenapa bisa di sini?"

"Kantin penuh, bangku di sini kosong tiga, yaudah"

Nadin hanya ber'oh'ria,"Btw, nama kakak–"

"Zay"

"Kayaknya kita kelamaan kalo nunggu stand sepi, bentar lagi masuk kelas, ayo balik," Zay berdiri dan pergi lebih dulu.

"Nadin kita duluan," Dea langsung menyusul Zay yang berjalan cepat. Tumben anak itu.

Dea membuka suara begitu berhasil menyamai langkah Zay,"Itu cewek posesif banget gue perhatiin, lagian kok bisa secepet itu si Zaam pacarin anak orang? Dia baru transmigrasi anjirr,"

"Orang cakep emang cepet lakunya"

"Bangsat, dikira jualan muka"

Zaam punya pilihannya sendiri, Zay juga. Perjodohan itu, semoga bisa dipertimbangkan.

"Zay, emang lo nggak tertarik gitu sama Zaam? Lo kan kenal dia duluan, tapi Zaam deketnya malah sama yang lain"

"Biarin"

"Sayang banget, padahal kalian keliatan serasi minus sama-sama gengsi aja"

"Sesimple lo nggak suka, mau kaya gimana pun juga tetep sama"

"Bener sih"

"Emang nggak salah"

Dea menepuk jidat,"Astaga! Lupa, tadi kan niatnya gue yang mau cerita"

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang