26. Teman masa kecil (?)

558 30 3
                                    

Klakson kendaraan saling bersahutan bising, dan tiba-tiba satu motor besar berhenti di tepi. Zay yang sempat melirik langsung mempercepat langkah, pura-pura tak melihat. Tanpa disangka tangannya ditarik sampai tubuhnya berputar, Zay menatap malas Zaam yang barusan menarik dia seenak hati.

"Naik"

"Maaf ya mas kita nggak kenal, permisi," Zay menunduk melepaskan tangannya.

"Bareng gue," tapi Zaam menahan.

"Lepasin tangan gue gausa pegang-pegang"

Bola mata Zaam otomatis turun dan spontan melepas genggamannya yang ternyata begitu erat.

"Pulang"

"Lo pikir gue mau kemana?," Zay mendengus kecil, "Diem dan jangan ikutin gue," peringatnya sok galak.

"Bawel," Zaam lagi-lagi harus menarik Zay sampai berhenti tepat di samping motornya.

Zay cukup cengo, melihat gerakan cepat Zaam yang kini sosoknya sudah mapan di atas motor. Zay tidak peduli, dia dengan keras kepalanya ingin melangkah pergi, namun gagal lagi.

"Bisa nggak, nggak usah tarik-tarik?," Zay melotot kesal.

"Bisa nggak nurut? Naik sendiri atau perlu gue gendong?"

Zaam tanpa ekspresi–yang mengundang gidikan ngeri Zay. Tapi ini cukup langka, Zaam berbicara banyak, bukan satu dua kata.

Zay terpaksa menurut, sebenarnya bisa saja dia langsung pergi tanpa peduli, tapi dia cukup menimang, jalan kaki tentu akan melelahkan. Sebenarnya Zay sedikit gengsi.

"Nadin lo kemanain?," Zay mengeraskan suara takut-takut Zaam budek di jalan, terlebih dengan helm full facenya.

Cittt

Tuk!

Zay refleks meremas jaket Zaam sekaligus memukul helmnya akibat berhenti mendadak. Memang jalanan cukup padat, tapi tidak bisakah cowok itu berkendara dengan sewajarnya?

Zay menahan kesal, dia hanya diam disepanjang jalan, tidak seperti tadi.

Lama dalam keterdiaman sampai akhirnya rumah bercat putih gading terlihat dan pagar dibuka oleh pak Toni yang kebetulan ada di luar.

Zay selalu dengan susah payah turun dari atas motor besar Zaam, dia mengandalkan bahu cowok itu sebagai pegangan.

Baru ingin melangkah sudah disambut bunda yang berdiri di teras dengan senyum merekah indah, Zay sedikit berlari menghampiri dan menubruk tubuhnya dengan pelukan.

"Zay? Kok tiba-tiba peluk bunda?"

Bunda yang tubuhnya sedikit terhuyung merasa bingung, namun tetap membalas pelukan putrinya dengan mengelus surai yang berantakan–oleh-oleh di jalan.

"Emang peluk bunda harus ada alesannya?," Zay malah bertanya balik sebelum mengurai pelukan.

Sebenarnya Zay sendiri bingung, entahlah perasaan aneh seperti apa yang dia rasakan tiba-tiba, tidak biasanya.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

Zaam datang menyalami tangan bunda, membuat Zay kembali cemberut melihatnya. Ini masih soal tadi. 

"Pulang telat, emang macet banget ya?," bunda menatap Zay dan Zaam bergantian.

"Iya bun," selain macet juga sempat terjadi sedikit drama, ingin sekali Zay menjawab begitu.

"Yaudah kalian masuk, bersih-bersih, terus makan," bunda menepuk bahu Zaam beberapa kali.

Zaam mengangguk, masuk duluan dengan jaket yang tersampir di lengannya. Zay dan bunda menyusul di belakang sambil berbincang ringan.

"Kabar Dea gimana? Dia udah tau kalau kamu tinggal di sini?"

"Kabar Dea baik, dia udah tau kalo kita pindah"

"Syukurlah, Dea ajak main ke sini boleh kok"

"Iya, kapan-kapan"

"Hari ini sekolahnya gimana?"

"Kayak biasa, bun"

"Emang nggak seru ada Zaam? Kalian di sekolah nggak barengan?"

"Apa sih bunda .. kita punya temen sendiri, lagian Zaam kelas berapa"

"Ya kan gapapa biar kalian deket"

"Enggak"

"Ngg .. kamu keberatan ya kalau kita tinggal di sini?," bunda menggenggam satu tangan Zay membuat langkah keduanya terhenti.

Zay menghela pelan,"Kan El sekarang jadi tanggung jawab bunda, kenapa aku harus keberatan? Aku seneng punya saudara, bunda juga nggak harus pulang pergi lagi sekarang"

"Kalo Zaam?"

"Hah?"

"Seneng juga?"

"ENGGAK"

"Kok ngegas?"

"Maaf, kelepasan," Zay terkekeh canggung.

"Emang nggak mau akrab? Coba saling mengenal dulu, seenggaknya kalian bisa temenan. Zaam bukan orang lain, dia dulu teman masa kecil kamu, ingat nggak?"

"Lupa bunda, tolong jangan bahas itu dulu ya ..."

Bunda tau, Zay dan Zaam masih belum bisa menerima wasiat perjodohan orang tua mereka.

Keduanya baru dipertemukan kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Perlu waktu untuk bisa saling menerima satu sama lain, tanpa adanya keterpaksaan.

Tbc.

𝐅𝐈𝐆𝐔𝐑𝐀𝐍 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang