Dirgantara -21-

4.2K 657 190
                                    

Nova baru saja pulang saat petang mulai menjelang. Badannya terasa lengket oleh keringat belum lagi beberapa bagian terasa begitu pegal.

Pensi yang akan direncanakan mulai dua Minggu lagi tentu saja adalah penyebabnya. Urusan panggung belum juga mendapat titik terang membuatnya sakit kepala.

Langkahnya pelan masuk ke rumah dan menemukan ayah yang sepertinya bersiap akan pergi.

"Ayah mau ambil catring makan malam Nana dulu ya bang. Abang mau makan malam apa??" Katanya sambil mengenakan jam tangannya .

"Samain sama menunya Nana aja, Yah. Kasihan kalau dia ngerasa makannya gak enak sendiri"

Dirga tersenyum sebelum mengusak rambut anak itu dan bergegas pergi.

Nova sendiri mulai naik ke kamarnya. Ingin segera membersihkan diri dan beristirahat.

Membuka pelan pintu kamarnya dia melongok dan menemukan Nafa tengah duduk di kasur membuatnya tersenyum.

"Sore" katanya sambil meletakkan tasnya dan mulai membuka kancing seragamnya. Dia belum sepenuhnya selesai melepas kancing bajunya saat tersadar Nafa terlalu diam. Anak itu bahkan tidak membalas sapaan.

Nova menoleh tapi mengendik dan mulai mengambil handuk. Mungkin adiknya masih kurang enak badan sehingga menjadi pendiam.

Kakinya baru saja hendak memasuki kamar mandi saat suara Nafa terdengar lirih.

"Sejak kapan??"

Nova mengernyit.

"Hah??"

Nafa akhirnya mengangkat pandangan, menatapnya dengan mata memerah.

"Sejak kapan Lo tau??"

Nova semakin mengernyit.

"Apasih Na?! Yang jelas kalau ngomong, dek"

Nafa disana mendengus kemudian menutup wajahnya. Tidak bisa menahan lebih lama air mata yang menggenang di pelupuknya sedari tadi.

"Sejak kapan Lo tau kita beda ibu, Nova?!"

Handuk yang tersampir pada bahu Nova merosot begitu saja. Nova terkejut tentu saja. Buru-buru mendekat ke arah Nafa dan berjongkok di hadapan anak itu.

Dia mendongak menatap Nafa yang sudah mulai menangis terisak.

"Hey hey Na. Siapa yang bilang gitu dek?? Hm??"

Nafa membuka wajahnya hanya untuk menatap Nova tak percaya.

"Kertas-kertas itu udah bisa ngejelasin semuanya, Nova!"

Nova menoleh mengikuti telunjuk Nafa dan mendesah pelan, meraih anak itu dalam pelukannya.

"Lepas!"

Nova acuh semakin mengeratkan pelukannya, tak peduli Nafa mulai memukuli bahunya.

"Sejak kapan Lo tau?!"

Nova menghela nafas pelan sebelum dengan pelan melepas pelukannya. Tangannya terulur mengusap air mata Nafa yang membasahi pipinya.

"Sejak kelas 4"

Nafa memejamkan mata.

"Selama itu dan gue gak tau??"

Nova menghela nafas, meletakkan kepalanya di atas pangkuan Nafa.

"Aku gak merasa itu hal penting sampai kamu harus tau"

"What the hell, Novalen?! Bukan hal penting?! Kita bukan saudara kandung dan itu gak penting??"

Nafas Nafa memburu. Dadanya serasa seperti terbakar. Dan dia mulai kesulitan mengatur nafas.

"So what's matter?? Apa yang bakal berubah kalau kita bukan saudara kandung, Nafarel?? Gak ada. Gak ada yang bakal berubah sekalipun kita bukan saudara kandung. Kamu tetap adikku yang paling aku sayang. Bahkan jika dunia tiba-tiba jungkir balik pun hal itu gak akan berubah"

Dirgantara ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang