Bagi beberapa orang lebih baik stress karena bekerja dari pada stress karena mencarinya. Diusahakan segala upaya agar paling tidak pekerjaan yang sudah didapat susah payah tidak hilang begitu saja. Dirga juga salah satu diantaranya.
Meskipun bekerja di lembaga milik sahabatnya bukan berarti beban pekerjaan yang dia dapatkan berbeda dengan yang lainnya.
Iya sih ada beberapa perlakuan khusus yang dia dapatkan dari sahabat, seperti jam kerja yang lebih sedikit juga cuti di hari-hari dengan keadaan genting. Tapi selebihnya ya sama saja.
Sahabatnya, si Tendri itu orangnya keras dan selalu menginginkan sesuatu seperti yang dia inginkan.
Sedari dulu sejak mereka berteman pertama kali saat ospek jurusan Dirga sudah tau watak Tendri seperti apa. Jadi bukan sesuatu hal yang baru baginya saat Tendri melakukan segala macam hal untuk keinginannya.
Seperti sekarang contohnya, bosnya itu dengan tiba-tiba memberikannya kopi saat jam istirahat yang bahkan telah selesai. Bukan Tendri sekali.
Belum lagi senyumnya yang tampak bodoh itu. Ck, Dirga tau ini tak akan mudah.
"Dirga, ya??"
Dirga menggeleng memilih untuk mengabaikan Tendri yang duduk di hadapannya dan lebih memilih fokus pada layar di depannya.
"Oh ayolah ini tuh kesempatan bagus, gue jamin deh lo gak bakal nyesel"
"Enggak"
"Ck. Alasan lu gak jelas"
Dirga menghela nafas dan menatap sahabatnya dengan pandangan meminta pengertian.
"Kurang jelas apa sih, Ten?? Gue gak bisa ambil proyek itu karena gak bisa ninggalin anak-anak gue sendirian di rumah. Gak jelas dari mananya??"
"Ya itu gak jelas, anak-anak lu udah gede. Lagian ya tuan Aryasatya Dirgantara ini proyek juga gak bakal bikin lu gak bisa pulang ke rumah. Dih berlebihan banget lu"
Jadi ceritanya Tendri saat ini tengah membujuk si ayah yang terus kekeh untuk tidak bergabung dalam proyek yang lumayan besar padahal Tendri sudah mengatur dengan matang siapa saja yang akan bergabung dalam proyek ini.
Seperti yang sudah Dirga bilang, Tendri itu keras dan sulit mengalah. Inginnya selalu harus terwujud.
Dirga sudah berulang kali mencari pengertian agar sahabatnya ini mau mengerti tapi sudah dua Minggu berlalu sabahatnya terus saja merengek. Dirga pusing betulan.
"Lu yang gak dengerin gue tuan Arga Tendrian Wijaya! Gue tau ini proyek gede tanggung jawabnya pasti gede, gue bakalan sibuk kesana-kemari. Waktu gue buat anak-anak gue jadi gak ada. Gue gak mau, gue gak bisa"
Tendri menghela nafas frustasi.
"Dude gak gitu. Ini emang proyek besar tapi ya gak mungkin lah lu kerja sendiri. Tim lu ada yang bantu. Waktu lu buat anak-anak lu gak ada?? Cih alasan klasik macam itu udah gue hafal. Tolonglah profesional gue masih bos lo kalau Lo lupa"
Dirga memejam memijat pangkal hidungnya dan melepas kacamatanya. Menatap Tendri dengan tatapan putus asa.
"Anak-anak gue butuh perhatian ektra. Lo tau sendiri Ten"
Kali ini Tendri hampir mengerang kesal.
"Gue tau, Ga. Gue paham. Atau gini aja deh kalau Nafa Nova setuju Lo gabung sama proyek ini, lo juga harus setuju?? Gimana?? Pikirin lagi lah. Hasilnya gak main-main loh. Gue tau Lo lagi butuh uang banget kan. Tolong pikirin lagi, oke??"
Dirga pada akhirnya mengangguk dan mengalah membiarkan Tendri melenggang pergi setelah menepuk pundaknya sekali.
Hah. Rasanya jika Dirga tak ingat tanggungannya dia pasti sudah mengundurkan diri dari lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara ✓
FanficDi antara luasnya langit, Dirga hanya berharap bahwa kehangatan akan selalu memeluk rumahnya.