Pemandangan langit biru tanpa awan selalu membuat Nafa merasa tenang. Seolah tak ada satu hal pun yang bisa menghalangi sinar matahari untuk bumi.
Selama ini Nafa selalu berfikir kenapa bumi harus mengitari matahari?? Kenapa tidak sebaliknya?? Kenapa seolah matahari adalah pusat segala hal?? Padahal matahari kan hanya bintang yang bisa redup kapan saja.
Dia terkekeh geli menyadari pemikirannya yang begitu acak. Dia kembali menatap langit dari jendela kamarnya yang sengaja di buka.
Dia menarik nafas pelan merasa begitu kepayahan. Ingin menertawakan dirinya sendiri yang bahkan untuk bernafas saja tidak becus. Buktinya selang oksigen itu kini harus selalu menempel padanya.
Setelah pensi waktu itu keadaannya turun drastis sehingga harus diisolasi selama 24 jam. Ayah dan Nova tak diperbolehkan menjenguknya.
Sedih sekali jika mengingatnya. Ayah hanya bisa berdiri menatapnya dengan senyum lebar di balik kaca. Mengatakan semangat tanpa suara yang bisa Nafa tangkap.
Beruntungnya itu hanya satu hari saja. Nafa tidak bisa membayangkan jika itu berlangsung lebih lama.
Berjauhan dengan ayah saat dia merasa kesakitan itu buruk. Nafa merasa sakitnya berkali-kali lipat jika ayah tidak memeluknya. Sakit sekali.
Nafa lagi-lagi menarik nafas pelan. Tidak terhitung berapa kali dia menghela nafas berat hari ini. Dia memejamkan matanya pelan. Ruangannya pagi ini terlampau sepi.
Ayah harus ke kantor karena urusan mendesak dan Nova tentu saja sekolah membuat ruangan yang biasanya ramai menjadi sepi sejenak. Agaknya ruangan ini sudah seperti rumah baru mereka.
Setiap malam mereka tidur disini dan berangkat untuk memulai aktivas pun dari sini. Nafa kadang merasa bersalah.
Jika dihitung dari pertama kali dia masuk ke rumah sakit, sudah genap satu bulan mereka disini. Berkali-kali mengeluh ingin pulang sebenarnya tapi kata ayah sabar, sabar, dan sabar. Nafa bahkan sudah menghafal kalimat ayahnya!
Nafa mencebik mulai merasa bosan. Dia hampir akan kembali tertidur saat pintu ruangannya terbuka. Dia menoleh cepat dan menemukan Yudha yang masuk dengan sebuah gitar coklat yang tampak familiar membuat pelan-pelan sudut bibirnya terangkat.
Senyumnya lantas semakin lebar saat lelaki itu mendekat dan duduk di space kosong ranjangnya. Meyodorkannya gitar coklat itu ke arahnya.
"Kelasnya bisa dimulai lagi??"
Nafa tertawa kemudian mengangguk meraih gitar coklat itu dan memeluknya erat.
"Bisa! Ayo kita lanjut buat hadiah untuk ayah!"
🌼🌼🌼
Dirga baru saja kembali dari kantornya saat jam makan siang. Memilih membawa sebagian pekerjaannya untuk dibawa ke rumah sakit dan makan siang disana saja.
Entah kenapa Dirga merasa lebih fokus mengerjakan pekerjaannya di rumah sakit dari pada kantornya. Mungkin karena perasaannya yang selalu was-was setiap meninggalkan Nafa yang jadi faktor utama.
Berjalan pelan melewati lorong rumah sakit yang sudah dihafalnya di luar kepala. Satu bulan penuh tinggal disini membuat Dirga merasa begitu akrab dengan suasana ini. Tentang dingin yang terasa aneh juga suasana sendu yang begitu kentara.
Dia dengan pelan membuka pintu ruang rawat putranya saat sudah sampai disana. Sedikit tertegun melihat Yudha dan Nafa tertidur bersama.
Tangan Yudha dijadikan bantal oleh Nafa, belum lagi anak itu yang memeluk Yudha dengan tangan mencengkram erat kemeja depan yang Yudha kenakan. Persis seperti posisi biasanya saat Dirga tidur dengan anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara ✓
FanfictionDi antara luasnya langit, Dirga hanya berharap bahwa kehangatan akan selalu memeluk rumahnya.