Memang benar kata orang. Hari esok tak ada yang tau bagaimana jalannya. Memang benar.
Hari esok adalah sebuah rahasia yang manusia tak akan bisa terka. Tak akan mungkin bisa ditebak-tebak oleh sebuah prediksi apalagi oleh sebuah ramalan konyol.
Memang benar hari esok adalah sebuah rahasia. Makanya kadang beberapa manusia masih begitu terkejut mendapati hari esok tak seperti yang mereka bayangkan. Tak seperti yang mereka harapkan.
Dirga kira hari esok tak mungkin bisa lebih buruk dari saat dia kehilangan Aluna sebagai bulannya.
Yang Dirga tau hari esok tak mungkin bisa lebih mendung dari saat dia kehilangan Bintang dalam hidupnya.
Yang Dirga tau hari esok tak akan pernah lebih mengejutkan selain mendapati fakta bahwa lagi-lagi dirinya gagal menjadi seorang ayah.
Tapi yang Dirga tak pernah tau hari esok yang dimaksud ternyata semengerikan ini. Baru kemarin, benar-benar kemarin dia memeluk putra bungsunya hingga jatuh terlelap.
Baru kemarin dia melihat bagaimana anak itu tertawa keras dengan lelucon-lelucon konyol yang menguar di udara. Baru kemarin Dirga merasa begitu bahagia.
Tapi hari ini dia melihat lagi bagaimana putranya di kelilingi oleh banyak tenaga medis. Hari ini lagi-lagi Dirga melihat bagaimana Kuntoro tampak sibuk menyadarkan putranya.
Air mata Dirga jatuh begitu saja menatap pada tubuh Nafa yang terkulai lemah tampak tak bisa lagi merespon apapun yang Kuntoro sampaikan.
Sampai kemudian Dirga melihat bagaimana Kuntoro mulai menekan dada putranya hanya agar anak itu bisa terus bernafas.
Dirga menangis melihat bagaimana putranya tampak begitu kesakitan tanpa bisa dia rengkuh dari sini. Dirga ingin memeluknya.
Kata Nafa pelukan Dirga bisa membuat anak itu tak merasa sakit lagi. Dirga ingin merengkuhnya erat-erat. Mengambil semua rasa sakit itu.
Tadi pagi lagi-lagi putranya kehilangan kesadaran hingga tiba-tiba nafasnya tak lagi terasa. Dirga tidak tau istilahnya tapi tak lama Kuntoro datang dengan tergesa menyuruhnya keluar dan menunggu dengan sabar. Mengatakan akan berusaha dan semua pasti akan baik-baik saja.
Tapi dari sini saja Dirga sudah tau tak ada yang akan baik-baik saja. Dirga merasa seperti dijatuhkan ke dalam lubang gelap tanpa dasar.
Suara-suara berisik mulai memenuhi telinganya membuat Dirga tambah kesakitan. Air matanya sudah mengalir tapi dirinya masih begitu angkuh hingga tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Rasanya baru kemarin Dirga begitu bahagia tapi kenapa sekarang dia merasa diujung jurang kepedihan?? Apakah cara kerja dunia memang sebercanda ini padanya??
"Ga"
Sebuah tangan melingkar pada bahunya membuat Dirga menoleh menatap pada Galih yang tersenyum ke arahnya.
"Gak apa-apa. Mungkin memang ini saatnya kita pulang. Nana ingin pulang"
"Sudah waktunya nyerah ya mas??"
"Bukan nyerah. Tapi sudah waktunya Nana bebas dan lepas dari sakitnya"
Dirga akhirnya kini mulai menangis terisak. Dia mengangguk pelan menyembunyikan wajahnya pada bahu Galih. Membiarkan kakaknya melihat betapa payah dirinya.
Melihat betapa gagalnya Dirga sebagai orang tua. Melihat betapa memalukan dirinya. Melihat bagaimana terlukanya seorang Aryasatya Dirgantara yang angkuh. Yang kembali jatuh untuk kesekian kalinya.
Dirga masih dalam dekapan Galih saat pintu di belakangnya terbuka dengan Kunto yang tersenyum ke arahnya. Dirga menghapus air matanya dengan kasar.
"Kita ngobrol sebentar ya Ga"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara ✓
Fiksi PenggemarDi antara luasnya langit, Dirga hanya berharap bahwa kehangatan akan selalu memeluk rumahnya.