Pagi tak pernah sesendu ini. Matahari di luar sudah bersinar terik tapi rasanya tetap mendung di sini. Aneh, padahal dunia masih terus berputar pada porosnya tapi kenapa rasanya seperti tidak bergerak??
Ingatan Nova masih saja terhenti pada adegan menakutkan dimana dia akhirnya sadar adiknya bukan hanya tertidur saat itu. Dia akhirnya sadar mengapa adiknya tidur begitu nyenyak malam itu padahal biasanya anak itu akan selalu kesulitan tidur karena sesak.
Nova akhirnya tau kenapa Nafa mengatakan menyanyanginya dan ayah malam itu. Nova akhirnya paham, bahwa adiknya memang sedang lelah dan butuh jeda sesaat.
Mereka bilang Nafa-nya butuh waktu istirahat lebih, Nova mengerti itu. Tapi Nova tidak pernah bisa paham kenapa di hari kedelapan adiknya tetap menutup mata??
Butuh berapa lama lagi waktu istirahatnya?? Butuh berapa malam lagi Nova harus menangis?? Butuh berapa pagi lagi Nova akan terbangun dengan mata membengkak??
Nova menggigit bibir bawahnya kembali mengusap kaca besar yang menyembunyikan adiknya. Melihat dari sini bagaimana ayah menggenggam erat tangan itu dan berbisik pelan tepat di telinga Nafa.
Delapan hari sudah berlalu dan Nova belum pernah sekalipun masuk ke dalam sana. Menggenggam tangan dingin itu atau sekedar memberikan sebuah ucapan semangat. Nyatanya Nova memang sepenakut itu.
Dia mundur saat pintu ICU terbuka, ayah keluar dan langsung menyapanya dengan senyum tipis. Delapan hari sudah berlalu tapi pagi mereka selalu sama. Masih semendung saat hari pertama.
"Yakin gak mau masuk bang??"
Nova menggeleng melirik sekali lagi pada kaca yang menampilkan adiknya.
"Nanti"
Dirga hanya tersenyum kemudian meraih bahu putra itu dan mengguncangnya pelan.
"Katanya walaupun tidur adek denger semua perkataan kita. Kalau bener, mungkin dia sekarang lagi kesel sambil ngomel-ngomel 'kok suara Abang gak pernah kedengaran sih??! Masak kalah sama om Tendri"
Dirga terkekeh kecil membayangkan wajah putra bungsunya saat benar-benar mengatakan hal itu.
"Abang. Ambil waktu yang Abang butuhkan ya??"
"Takut itu wajar, bang. Ayah juga takut. Tapi jangan sampai ketakutan itu membuat itu gak bisa melangkah lagi. Jangan sampai karena takut kita gak bisa ngapa-ngapain. Pikiran-pikiran jahat itu jangan sampai menang"
Rangkulannya semakin erat.
"Ayah pernah dengar seseorang bilang sesuatu yang kita pikirkan itu pasti akan terjadi. Jadi dari pada memikirkan yang jelek-jelek mending kita pikirkan hal yang baik. Misalkan nih kita pikirin nanti kalau adek udah bangun kita omelin aja atau kita jewer ya telinganya??"
Nova terkekeh meletakkan kepalanya pada bahu kokoh Dirga.
"Ayah. Everything gonna be okay, right??"
"Of course" kata Dirga mulai mengusap belakang kepala Nova.
"Aku gak seharusnya takut berlebihan kan??"
"Iya sayang"
"Tapi gak bisa ayah. Gak bisa"
"Rasanya kepala aku penuh, dadaku sesak banget waktu liat Nana. Gak bisa gak takut ayah. Gak bisa"
Dirga tersenyum. Turut meletakkan kepalanya di atas kepala Nova. Tatap keduanya masih pada objek yang sama, yang tak juga bergeming meski sudah banyak usaha dan doa mereka kerahkan.
"Pelan-pelan, nak. Pelan-pelan. Berat memang tapi kan yang terpenting kita sudah berusaha. Kalau gak nyoba kita gak tau hasilnya kan??"
Nova terdiam masih terus memandang pada tubuh adiknya. Dengan pelan dia menegakkan tubuh, dia tersenyum pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara ✓
FanfictionDi antara luasnya langit, Dirga hanya berharap bahwa kehangatan akan selalu memeluk rumahnya.