ENAM PULUH DELAPAN

194 95 406
                                    

Kantor Polisi Barium yang terletak di pusat kota Bandung kini ramai kedatangan siswa dari SMA Permata Elang.

Siswa ini adalah AlkalinZe, Dira dan kedua sahabatnya. Kedatangan mereka ke sana karena memiliki tujuan yang sama sejak awal.

Melaporkan pembunuh Bondan sebenarnya.

Tiga remaja berjalan menuju ruangan. Sedangkan yang lainnya menunggu di luar.

"Silahkan duduk," suruh polisi dengan nametag Irawan Bayu.

Tiga remaja yang tak lain adalah Veo, Dira dan Jefri segera duduk di hadapan polisi itu.

"Kami siswa kelas sebelas SMA Permata Elang memohon untuk membuka kembali kasus kematian Bondan Agroles," ucap Veo dengan tegas.

Polisi itu tampak terkejut dengan ucapan salah satu siswa yang duduk di hadapannya saat ini.

"Atas dasar apa kalian ingin membuka kembali kasus ini? Kasus ini sudah di tutup satu tahun lalu. Kematiannya juga sudah di identifikasi oleh forensik bahwa itu murni kecelakaan motor," jelas polisi itu.

"Bapak yakin?" tanya Dira yang tidak ingin diam saja.

"Kenapa tidak? Semuanya sudah jelas. Tabrak lari? Tidak mungkin juga, semua terekam di dalam CCTV Jalan itu, bahwa saudara Bondan tewas karena menabrak truk," bantah pak Irawan yang tidak terima.

"Jika bapak tidak percaya, kami semua punya bukti dan saksi," ucap Jefri yang sudah geram.

Polisi itu tersenyum tipis. "Kalian mengancam saya?"

Dira menyeringai lalu bersendekap dada. "Buat apa kami mengancam seorang aparat kepolisian?"

Veo menoleh ke Dira lalu menggelengkan kepalanya. Ia bisa melihat raut wajah Dira yang mulai kesal karena ucapan pak Irawan.

"Bapak mau menutupi kasus ini? Buat apa jika ada bukti harus di tutup?" lanjut Veo.

"Berikan buktinya."

*****

Dira menyerahkan satu kardus yang berisi bukti pelaku pembunuhan Bondan. Termasuk flashdisk yang ternyata itu adalah rekaman Leo mengutak-atik setir Bondan sebelum balapan.

Di dalam box pemberian Vania itu memang ada dua flashdisk. Dan ternyata salah satu di antaranya adalah video bukti.

Dan Dira juga memang memilih pulang terlebih dahulu untuk mengambil box besar milik Leo. Dan pemuda itu juga belum pulang. Jadi ia bisa masuk menggunakan kunci cadangan.

Ketiga remaja itu menyaksikan kepala kepolisian membuka semuanya. Veo yang bersikeras ingin menunjukkan bukti itu kepada kepala kepolisian di ruangannya.

Kenapa? Karena Veo tahu pak Irawan yang termasuk bawahan tetap menolak untuk membuka kembali kasusnya.

"Kalian adalah remaja pertama yang berani masuk ke ruangan saya," ucap kepala kepolisian itu. "Tapi bisa saja ini semua bukti palsu," lanjutnya sambil tersenyum tipis.

Veo tertawa sinis. "Bapak juga masih tidak percaya dengan kami?"

Pria paruh baya itu berdiri dan memegang pundak Jefri dan Veo bersamaan.

"Bukannya saya tidak percaya, tetapi ini perintah," jawabnya.

"Bagaimana jika perintah seseorang itu berkata sebaliknya?" tanya Dira.

Pria itu melepaskan tangannya lalu berjalan menghampiri Dira yang berdiri tak jauh darinya.

"Sebaliknya?"

Dira mengangguk. "Perintah yang dulunya harus di sembunyikan tapi sekarang malah harus di laporkan."

"Jika kepolisian pusat tidak ingin menangani, kami sendiri yang akan membawa ke kejaksaan pusat," ucap Jefri yang sangat marah dengan situasi rumit seperti ini.

Secret & Truth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang