Waktu dan tempat, silahkan menghujat.
He
He
He
.
.
.
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Anak pertama orang tuaku adalah laki-laki. Terlahir dengan wajah rupawan membuat dia tampak sempurna. Bila kusebut namanya, mungkin kalian semua sudah mengenalnya. Menjadi seorang public figure dengan bayaran yang fantastis, membuatnya terkadang lupa dengan keberadaan diriku. Tak masalah, aku bersyukur karena pernah hidup berdampingan dengan dia hingga usia remaja.
Anak terakhir orang tuaku adalah perempuan. Usiaku dengannya hanya terpaut tiga tahun. Sering dibilang mirip karena kami tumbuh besar dengan postur tubuh yang sama sampai akhirnya-
Tok! Tok! Tok!
-ah ingatkan aku untuk melanjutkan cerita tentang adikku nanti ya, aku kedatangan tamu.
.
.
.
CKLEK!
Dengan ponsel mahal yang didekatkan pada telinganya, seseorang keluar dari kamar mandi dan menatapku lurus. Ekspresinya terlalu datar, sampai-sampai aku tidak bisa menebak apa yang mungkin sedang dipikirkan olehnya. Dan aku hanya bisa merespon dengan berkedip cepat.
What the he-
Kukira ia sedang menghafal dialog buat drama atau apalah gitu. Ternyata lagi tel-fon?
"Yah, kok kamu sudah bangun? Jadi dengar deh pasti." Ucapnya dengan ekspresi yang tidak pernah kulihat selama mengenalnya. Menjauhkan posel dari telinganya, menekan sesuatu pada ponselnya, kemudian ia kembali berucap. "Huh dek, ada yang dengar obrolan kita, kasih hadiah apa nih?"
.
.
.
"Hadiahnya sama kaya yang dikamarmu aja deh kak, biar cepat dan gak ada saksi hidup." Ucap seseorang yang dengan santainya masuk ke kamarku. Sambil sebelah tangannya membentuk pistol, menempatkan pada sisi kepala dengan mulut mengucap dor tanpa suara.
Mungkin dia yang namanya tadi sempat ia panggil lewat telfon. Ah entahlah siapa, mana bisa aku peduli pada namanya diakhir hidupku seperti ini.
Mendengar pernyataan mendadak dari orang yang baru masuk kamarku, aku dan orang itu reflek menyahuti bersamaan.
"Oh, kirain bakal dibawa ke rumah sakit itu orang." // "Eh maksudnya?"Sedangkan orang yang kuperkirakan adalah orang yang sama dengan lawan bicara di telfon hanya mengendikan kedua bahunya acuh.
Melihat tanggapan itu, ia kembali menyahut "Maksudnya kamu harus mati darl-"
BRAK!
"-Anjing! Saya dari tadi ngomong kepotong mulu!" dan berakhir dengan mengumpati kedatangan seseorang yang tiba-tiba, menyela omongannya lagi.
Nah ini bocah siapa lagi masuk-masuk rusuh, bikin dia nyebut segala.
"Aduh capek, kakak kenapa suka ninggalin sih!" Dia yang baru saja datang, menoleh kearahku setelah berhasil mengatur nafasnya. "Eh cakep juga!"
.
.
.
"IHH AKU GEMES LIAT KAKAKNYA! SEKARANG KAKAK INI JADI TEMAN AKU YA, AKU GAK TERIMA PENOLAKAN!"
.
.
.
Mungkin ini lebih baik dari pada dapat hadiah yang anti mainstream, bukan?
/\/\/\/\/\/\/\/\/\/
Ada aku, ada penelfon, ada penerima telfon, dan ada yang gemes sama aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE J
FanfictionApa jadinya kalau kamu punya saudara kembar, tapi terpaut dua tahun pendidikan? Yaa gitu dah.. (Note : Buat para pembaca versi pertama cerita ini, mohon maaf Daee gak mau lanjutin alurnya. Semoga versi ini tetap bisa menghibur yaa..)