Harin terbangun dengan tubuhnya yang kini terbalut selimut tebal, kemeja kebesaran Jeno masih melekat di tubuh polosnya, dan sekarang dirinya berada di kamar Jeno.
Harin berharap ia mendapati Jeno di sampingnya, namun yang ia dapati Jeno berada di depan sana sangat tampan. Tepatnya Jeno di depan cermin, menggunakan Tuxedo yang membuatnya terlihat lebih berkarisma dan maskulin, tak lupa dengan tatanan rambut yang rapi.
Harin tersenyum bahagia melihatnya, tapi keringat dingin bercucuran di dahinya, ia meriang. Harin demam karena kehujanan dan begadang semalam.
Tak lama, Harin bangkit berdiri. Melangkahkan kakinya dengan tergopoh, padahal semalam Jeno tidak sampai merusak masa depannya, tapi pusing dan panas dingin yang kini menjalari seluruh tubuhnya.
"Jeno, lo ganteng banget," puji Harin memaksakan diri untuk tersenyum. Dia seperti lupa bahwa hari ini Jeno akan bertunangan dengan Nara.
"Udah bangun? Sarapan gih, udah jam sepuluh, udah gue siapin." Jeno merapikan dasinya.
"Entar aja." Harin masih kagum melihat ketampanan Jeno.
"Gue udah anterin semua pakaian lo yang basah karena kehujanan malam tadi ke laundry."
"Gue jadi repotin lo, kan," gumam Harin sangat lesu.
Jeno hanya tersenyum, membalikkan tubuhnya. Tapi sedetik kemudian wajahnya terlihat khawatir.
"Lo pucat, lo sakit?" tanya Jeno dengan menyentuh dahi Harin.
"Gue gapapa," jawab Harin dengan senyumannya yang masih terlihat manis walau wajahnya sangat pucat.
"Nggak, lo benaran demam, gue mau panggil dokter," ucap Jeno lagi masih khawatir, menuntun Harin ke tempat tidur kembali.
Akhirnya dengan telaten Jeno mengompres Harin setelah sebelumnya ia mengambil es dan handuk kecil.
Harin tersenyum bahagia melihat Jeno yang seperti itu, yang terlihat begitu mengkhawatirkannya.
"Maaf," ucap Jeno datar langsung berdiri, "gue mau nelpon dokter."
Harin diam, Jeno pasti harus secepatnya pergi ke pertunangan itu.
"Kak Jeno," panggil Harin kini dengan sebutan kakak dan langsung membuat Jeno menoleh. Ia merasa aneh dan hatinya terbetrik karena panggilan itu.
Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut Harin, ia hanya memandangi wajah Jeno yang menatapnya penuh tanya.
Tak lama Harin mengangguk dan tersenyum. "Iya, panggil dokter aja ke sini, Kak," ujarnya dengan lemah. Ia harus membiasakan diri dan menganggap Jeno adalah kakak iparnya.
Jeno mengangguk dan balas tersenyum canggung, panggilan Kakak untuknya dari Harin benar-benar membuat sesak dadanya.
Harin kembali terdiam, ia ingin secepatnya dokter datang dan dirinya pulih kembali agar bisa secepatnya pulang, tapi bukan pulang ke rumah keluarga Kim. Harin memutuskan untuk pulang ke rumah lamanya dan akan tinggal seorang diri di sana, tanpa mamanya.
***
Matanya terbuka setelah sebelumnya ia tertidur cukup pulas dan diberinya beberapa obat oleh dokter yang sebelumnya datang dan memeriksanya. Kini Harin tidak terlalu merasa pusing tapi tubuhnya masih terasa berat dan tidak enak.
Gadis itu kini hanya mendudukkan dirinya di ranjang. Memikirkan apa yang terjadi di luar sana, pertunangan Jeno dan Nara. Harin hanya bisa pasrah memikirkan itu semua. Tak lagi menangis hanya saja dadanya masih sesak.
Bel berbunyi, Harin sedikit melirik ke arah pintu kamar, ingin keluar membuka pintu utama. Dengan sangat hati-hati dan sangat pelan Harin keluar kamar dan membuka pintu.
Gadis itu membulatkan matanya melihat siapa yang datang, pria berumur yang tegap gagah namun masih tampan.
"Tu-tuan Lee Donghae?" tanya Harin gemetar kening berkerut karena rasa pusing yang seperti meremas kepalanya.
Donghae melihat penampilan Harin dari ujung kepala sampai ujung kaki yang hanya mengenakan kemeja putih kebesaran milik Jeno.
Bwur~
Setumpuk uang Donghae lemparkan ke depan wajah Harin, gadis itu tentu sangat terkejut dengan apa yang dilakukan ayah dari Jeno itu.
"Apa uang itu cukup? Atau masih belum cukup?" tanya Donghae dengan tegas dan kembali melemparkan setumpuk uang lagi.
Harin masih belum tahu apa yang terjadi tapi diperlakukan seperti itu tentu membuat air matanya berhasil menetes.
"Kamu sama saja seperti Ibumu! Mendekati pria kaya untuk mengubah hidupmu," ucap Donghae lagi dengan nada tinggi dan tajamnya tak peduli dengan kondisi Harin yang sangat mengkhawatirkan, sangat pucat.
"Ttuan, aku tahu aku murahan dan nggak punya harga diri tapi jangan bawa-bawa ibuku dalam masalah ini," ucap Harin dengan nada sangat lemah.
"Jangan pernah temui Jeno lagi, pergi dari apartemen ini. Aku sebagai ayahnya tidak sudi melihat kamu di sini. Dan lebih baik lagi pergi dari keluarga Kim sama ibumu itu, agar pernikahan mereka tidak terhalangi lagi seperti pertunangan hari ini batal karenamu!" ujar Donghae panjang lebar.
Harin yang hanya menunduk kini mengangkat wajahnya ketika mendengar pertunangannya batal.
"Sebelum bertemu denganmu aku sudah tahu Jeno selalu menemui kamu, aku selalu mencari tau tentangmu, karena itu aku langsung menyetujui perjodohan Jeno dan Nara kembali berlanjut."
Harin terduduk di lantai, perkataan Donghae benar-benar menyayat hatinya. Ayah dari orang yang dicintainya berkata seperti itu, ia tak bisa membalas, tak bisa membela, kondisinya terlalu lemah. Ia hanya bisa pasrah mendengar hinaan-hinaan itu, dan cintanya semakin sulit untuk bersatu dan diperjuangkan.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG NO !! - Lee Jeno
Fanfiction🔞 "Putusin Jeno!" Itu yang tiap hari gue denger dari orang di sekitar gue. [REPUB]