"Jadi, bagaimana, Harin? Kamu menerima lamaran Jeno?" tanya Lee Donghae dengan tegas, sepertinya ia tak suka mengulur-ulur waktu seperti ini.
Harin tercekat dengan tangan bergetar, matanya melirik Jeno. "Maaf, Tuan. Saya tidak bisa," jawab Harin dengan air mata berhasil menetes, "dan biarkan saya sendiri dulu." Berdiri dan membungkuk, kakinya melangkah meninggalkan pertemuan dua keluarga itu, ia berlari masuk ke kamarnya.
Wajah Lee Donghae begitu merah, diam-diam tangannya terkepal erat. Ia merasa dipermalukan saat ini.
"Tentang kerja sama kita–" Ucapan Donghae menggantung.
"Tuan melamar anak saya demi kerja sama antara kita?" tanya Park Jiyeon dengan tatapan tajam, merasa kecewa jika itu benar.
Donghae tersenyum kecut. "Sama sekali tidak, justru saya ingin tetap berlanjut. Dan untuk perjodohan, sepertinya sampai kapanpun kita tidak akan menjadi besan." Begitu tegas, seolah itu peringatan untuk keluarga Harin, "terutama dengan Anda, Nyonya Soojung," lanjut Donghae menatap Soojung. Ya, sebelumnya keluarga Lee memang sudah dipermalukan ketika Jeno dan Nara dulu bertunangan yang dibatalkan Nara secara sepihak di depan umum.
"Sepertinya untuk urusan asmara Harin dan Jeno kita nggak bisa ikut campur, Tuan," balas Soojung dengan tenang.
Donghae hanya mendengus, ia berdiri merapikan jas yang dikenakannya. "Ayo, Jeno. Kita pulang."
"Ayah," lirih Jeno merasa tidak enak. Jeno merasakan itu, ayahnya tengah marah.
"Maaf, Om, Tante dan Tante Soojung. Kami pamit." Jeno membungkuk dan segera melangkahkan kakinya untuk menyusul ayahnya.
"Lee Jeno." Namun suara Choi Minho menghentikan langkah Jeno.
Jeno berbalik menatap Minho penuh pertanyaan. "Jika kamu menginginkan Harin menjadi istrimu, maka kesempatan itu hanya satu kali, malam ini," jelas Minho menatap tajam Jeno.
Kening Jeno mengkerut. Maksudnya? Jeno benar-benar tidak mengerti.
"Seperti yang ayahmu katakan ... sampai kapanpun takkan bisa jadi besan." Minho bangkit berdiri, menghampiri Jeno dan menepuk Jeno, "kesempatan kamu hanya satu kali ini, sebelum aku berubah pikiran."
"Maksudnya? Aku masuk kamar Harin?" tanya Jeno membulatkan matanya.
"Minho, apa itu nggak berlebihan?" Jiyeon tak yakin, ia bersama Soojung saling melirik.
Minho tersenyum tipis. "Terserahmu, Jeno."
Jeno menghembuskan napas berat, ia melirik ke pintu keluar melihat punggung sang ayah yang telah berlalu, ah bahkan ayahnya sudah masuk mobil dan melajukannya. "Baiklah. Aku janji nggak akan buat Om kecewa," ucapnya penuh keyakinan. Langkahnya segera berlalu menaiki lantai dua untuk memasuki kamar Harin.
.
Suara deritan pintu terdengar, suara drap langkah pun mulai menyusul memasuki kamar Harin yang gelap.
"Bun," ucap Harin yang tengkurap di kasur, ia mengusap kasar air matanya. Ia mengira itu Jiyeon.
"Ma." Merasa tidak ada jawaban, Harin memanggil orang itu Mama, Harin kembali mengira Soojung.
Masih belum ada jawaban, Harin malah merasakan orang itu duduk di sisi ranjangnya. "Ma, kenapa takdir mainin aku?" tanya Harin serak, masih dengan posisi yang sama.
Sebelah tangan Harin menghangat, tangan Jeno menggenggamnya.
Deg~
Mata gadis itu kini membulat merasakan genggaman tangan itu. Hatinya mulai tak enak meski ia belum yakin sepenuhnya itu tangan Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG NO !! - Lee Jeno
Fanfiction🔞 "Putusin Jeno!" Itu yang tiap hari gue denger dari orang di sekitar gue. [REPUB]