Langit kota yang begitu cerah dengan awan putih memberi ukiran cantik langit biru. Kim Nara, gadis cantik itu tersenyum penuh arti menatap air mancur di tengah kolam.
Tak disadarinya, seorang pria jangkung kini berdiri di belakangnya. Pria itu menepuk punggung Nara pelan.
Nara berbalik, matanya langsung menyala riang. Di depannya Jeno tersenyum menatapnya.
"Gimana? Udah siap?" tanya Jeno sambil mengedipkan satu matanya.
Nara terkekeh geli melihat kedipan mata Jeno. "Umm ..." Tak lama akhirnya mengangguk mengiyakan.
"Silahkan masuk, Tuan Putri," ujar Jeno kini membukakan pintu mobil, sedikit membungkuk untuk mempersilakan Nara masuk.
"Aish, Dokter Lee. Kamu membuatku tersipu." Nara menahan tawanya dan masuk ke mobil.
"Udah siap, kan, semuanya?" tanya Nara tak sabaran, padahal Jeno baru saja masuk.
Jeno tersenyum pasti. "Gue pastiin lo jadi mempelai wanita paling bahagia sedunia," ucap Jeno yang kini mulai melajukan mobilnya.
"Yeay ... makasih, Jeno-yaa," balas Nara dengan nada sangat manja memanggil Jeno.
"Oh ya, ada satu orang yang belum diundang, dan gue mau lo yang anterin langsung ke tangannya." Nara menjauhkan dirinya dan meraih tasnya, mengambil satu undangan.
"Siapa?" tanya Jeno yang masih fokus menyetir.
"Harin," jawab Nara cepat. Namun justru itu membuat Jeno terperanjat, menatap tajam Nara.
"Yang bener aja, Ra, Harin di Tokyo," tolak Jeno menggelengkan kepalanya.
"Emangnya kenapa kalo di Tokyo? Gue udah siapin tiketnya buat lo." Nara mulai memberengutkan pipinya.
"Lewat telpon atau lainnya, bisa, kan? Nggak diundang juga pasti Harin datang karena dikasih tau Tante Soojung," ucap Jeno memberi alasan.
Sedikit berdeham, bukannya Jeno tak ingin bertemu Harin, tapi ia takut ia tak bisa meredam rindunya saat melihat Harin, ia takut tidak bisa mengontrol diri seperti hari itu dan menimbulkan masalah.
"Bilang aja lo masih sayang Harin." Nara mendengus dengan pipi mengembung. Mendengar itu Jeno hanya bisa membulatkan mata, Jeno memang tak pandai menutupi perasaannya.
"Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus pergi undang Harin dan sekalian jemput dia," ucap Nara penuh penekanan, menatap tajam Jeno dengan sudut matanya itu.
"Ya Tuhan, lo yang nikah kok gue yang repot," gerutu Jeno mengacak rambutnya.
Nara hanya tertawa kecil, ia sedikit menunduk menyembunyikan bibirnya yang diam-diam tersungging dan mengulum senyumnya. Nara sengaja melakukan itu, dirinya hanya memberi kesempatan Jeno untuk bisa bertemu Harin meski sebentar.
"Oke, berhenti di depan aja. Kayaknya Renjun bawa ibunya deh." Nara melihat ke depan sambil merapi-rapikan rambut dan bajunya, ingin terlihat rapi di depan calon mertua.
"Udah cantik, kok," sindir Jeno menyandar malas.
Mendengar itu, Nara menatap tajam Jeno dan mendelikkan matanya. "Jangan lupa, lo serahin undangan ini langsung ke Harin." Nara menunjuk undangan itu lagi dengan nada ketus.
"Iya, iya. Bawel ah," balas Jeno cepat.
"Oh iya, masalah bunga, gue pengen serba mawar putih ya jangan ada satupun warna lain." Nara yang hendak membuka pintu berbalik menatap pasti Jeno.
"Ya ampun, Ra. Lo udah bilang itu kemarin." Jeno mengacak rambutnya.
Nara terkikik. "Takut lo lupa aja, hehe," ucapnya cengir, langsung turun dari mobil.
"Eh, minta tolong dong." Nara kembali membuka pintu mobil dan menyembulkan kepalanya, "tolong bayarin belanjaan gue."
Jeno membulatkan matanya sempurna. "Lo pikir gue sopir lo apa, kenapa nggak nyuruh Renjun aja," gerutunya lagi.
"Makanya, lo juga cepet nikah. Umur mau 30 juga," gumamnya jahil, "jangan mikirin Harin mulu."
Blug. Nara langsung menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari untuk memasuki butik untuknya fitting baju pengantin bersama si calon suami.
Jeno tersenyum miring, Nara selalu saja meledeknya. Ia tak memungkiri, ledekan Nara memang benar, dirinya yang tak bisa melupakan Harin dan sulit untuk memulai hidupnya yang baru bersama wanita lain.
Jeno dan Nara memang kian dekat, kedekatannya sudah seperti kakak beradik. Tentang masa lalu mereka yang pernah terikat perjodohan dan hal-hal yang telah terjadi tak membuat mereka canggung. Untuk pernikahan saja Nara menyerahkan semuanya pada Jeno karena memang Nara tidak terlalu mempunyai banyak teman di masa lalu ataupun sekarang ini. Dan ... siapa sangka, dari bad boy-nya Jeno benar-benar menjadi seorang good boy.
Tangan Jeno perlahan meraih undangan yang Nara berikan tadi padanya, undangan khusus untuk Harin.
Jeno tersenyum dan mengelus undangan itu. "Kapan nama kita berdua tercantum di sini, Rin?" gumamnya lirih.
Tak lama Jeno berdecak dan menertawakan dirinya sendiri, dirinya yang seperti gila. Dengan cepat menjauhkan undangan itu, menyalakan mesin dan melajukan mobilnya. Ia lebih memilih pergi, tak ingin terus-terusan berlarut dengan bayang Harin.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG NO !! - Lee Jeno
Fanfiction🔞 "Putusin Jeno!" Itu yang tiap hari gue denger dari orang di sekitar gue. [REPUB]