"Jadi Bunda udah meninggal?" tanya Jeno dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ya. 10 tahun lalu," jawab wanita tua yang ternyata nenek Jeno itu, ibu dari Bunda Jeno. Jeno melupakan itu, bahwa ia masih mempunyai seorang nenek.
"Bunda ...." Jeno mulai menitikkan air mata, seorang ibu yang selama ini dirindukan kepulangannya, ternyata telah pergi untuk selamanya.
"Leukimia yang membunuhnya, itulah sebabnya dia meninggalkan kamu waktu itu. Ibumu nggak tega melihat anak sekecil itu menangisi ibunya yang sakit-sakitan lalu meninggal, dia lebih memilih kamu membencinya," jelas nenek Jeno yang juga menangis menceritakannya.
"Aku nggak pernah benci Bunda. Justru aku selalu merindukannya." Jeno mulai mengeluarkan suara-suara tangisannya.
"Cucuku ...." Nenek Jeno juga ikut meraung menangis menggenggam tangan Jeno, dan akhirnya Jeno memeluk wanita tua itu.
Detektif Park yang mulai ikut terharu ia keluar kamar itu, membiarkan Nenek dan Cucu itu berdua.
"Jeno," lirih nenek, Jeno pun melepas pelukannya dan menatap sang nenek.
"Beberapa tahun lalu ada sepasang suami istri yang mencari ibumu, dia bertanya seorang bayi yang dibawa ibumu. Nenek gak mengerti bayi apa," ucap nenek yang juga membuat Jeno bingung.
"Dia meninggalkan sesuatu?" tanya Jeno, dan nenek langsung mengangguk.
"Tolong ambilkan, di bawah baju Nenek," tunjuk nenek pada lemari plastik di pojok kamar itu.
Jeno pun membuka lemari itu dan mencarinya, mengambil sesuatu di bawahnya. Jeno langsung membukanya, foto seorang ibu yang menggendong seorang bayi yang masih merah, mungkin baru melahirkan, terlihat dari pakaian si ibu yang memakai pakaian rumah sakit. Lalu ada lagi, sebuah kartu nama yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah seorang direktur perusahaan.
"Bayi dalam foto itu bernama Choi Harin," ujar nenek.
Harin? Nama yang sama dengan gadisnya.
"Apa bunda pernah bercerita sesuatu berkaitan dengan ini?" tanya Jeno
menatap foto tersebut, dan nenek menjawab dengan gumaman 'tidak'.Tapi tiba-tiba tatapan Jeno terpaku pada foto di tangannya itu, senyum ibunya ini dan juga tatapan matanya ... mirip sekali dengan Harin-nya.
"Nenek, kita pulang ke rumah, ya. Aku akan merawat Nenek." Jeno mencoba mengajak neneknya pulang ke Apartementnya.
"Nggak, nenek lebih suka di sini. Di sini banyak teman-teman." Nenek tertawa pelan.
"Baiklah, aku harus pergi, Nek. Aku ingin mengunjungi makam Bunda, dan, aku akan mencari gadis yang bernama Harin itu." Jeno mencium kening nenek.
"Gadis yang bernama Harin?" ulang nenek nampak bingung.
"Maksudku bayi yang ada di foto itu," jelas Jeno lagi, kini nenek tampak mengangguk-ngangguk mengerti.
.
.
.Harin di kamar hanya bisa terus menerus menangis saja, masih belum percaya wanita yang selama ini di sampingnya bukan ibu kandungnya. Harin tak mempermasalahkan Soojung ternyata hanyalah ibu angkat, tapi hatinya merasakan sakit ketika mengetahui wanita yang membesarkan dan menyayanginya selama ini tidak tulus menyayanginya. Dia menginginkan sesuatu darinya, imbalan dari orang tua kandungnya.
"Harin." Nara tiba-tiba masuk kamar dan menghampiri. Harin hanya diam tidak menjawab.
"Jeno di depan, dia mau ngajak lo pergi. Cepet, selagi papa sama mama nggak ada."
Mendengar nama Jeno, Harin langsung saja bangkit untuk duduk, ia senang mendengarnya.
"Ngajak pergi gue?" tanya Harin memastikan dan Nara langsung mengangguk.
![](https://img.wattpad.com/cover/300788829-288-k438689.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG NO !! - Lee Jeno
Fanfiction🔞 "Putusin Jeno!" Itu yang tiap hari gue denger dari orang di sekitar gue. [REPUB]