Dusta

2K 152 8
                                    

Flashback On~

Setelah tiga bulan lamanya Harin meninggalkan Tokyo, gadis itu kini merasakan lega saat dirinya menginjakkan kakinya kembali di kota itu.

Yang Harin ingat adalah Jaemin, ia tak ingin membuatnya menunggu dan berakhir menyakitinya. Ia merasa bersalah yang begitu besar pada Jaemin karena waktunya di Seoul ia habiskan bersama Jeno, ya, Jeno yang berstatus Dokter yang menanganinya.

Dengan udara dingin, gadis itu berjalan memasuki gank menuju sebuah flat tempat Jaemin tinggal. Mengeratkan coat yang ia kenakan sebelum mengetuk pintu.

Cklek~

Belum juga Harin mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka lebar. Menampilkan sosok Jaemin bersama seorang gadis yang tak ia kenali. Siapa gadis itu? Batin Harin kini.

"Rin? Kapan balik? Kenapa nggak ngasih tau aku?" tanya Jaemin sangat terkejut.

"Tadinya pengin ngasih kejutan, tapi nyatanya malah aku yang dikasih kejutan. Heh." Harin berdecak menertawakan dirinya sendiri.

"Siapa cewek ini?" tanya Harin berusaha untuk menampilkan wajah datarnya, pantaskah ia cemburu?

"Rin ..." gugup Jaemin, ia mengacak rambutnya sendiri dengan sangat pelan.

"Kak Jaemin, jadi ini tunangan Kakak?" tanya gadis itu menggunakan bahasa Jepang menatap Harin dan Jaemin secara bergantian, gadis asli Jepang.

"Iya," jawab Jaemin begitu gugup.
"Rin, kenalin, dia Aika," ucap Jaemin ke Harin.

"Kalian pacaran?" tanya Harin mengangkat kedua alisnya, begitu berani.

"Eh, nggak, Kak." Aika yang menjawab dengan cepat.

"Pacaran juga nggak apa-apa, kok." Harin tersenyum lembut.

"Rin, maafin aku, selama ini aku nggak bisa bikin kamu bahagia," lirih Jaemin, "sekarang aku sadar, aku nggak bisa ngekang kamu, aku nggak mau kamu terima aku karena rasa simpati kamu sama aku dan karena rasa terima kasihnya kamu sama aku."

Mendengar ucapan Jaemin, Harin dengan cepat melirik Aika. Sepertinya Aika memang tidak mengerti ucapan Jaemin yang menggunakan bahasa Korea.

"Kak, aku pulang duluan deh. Kayaknya kakak sama Kak Harin butuh bicara berdua," ucap Aika secara tiba-tiba, ia mengerti dengan kondisi saat ini meski ia tak mengerti apa yang diucapkan Jaemin sebelumnya.

"Kakak anterin dulu kamu, ya." Jaemin mencoba mencegah gadis itu

"Nggak usah, Kak. Nggak apa, beneran deh." Aika tersenyum manis, dan dengan cepat ia segera berlalu meninggalkan Jaemin dan Harin.

Harin hanya menghembuskan napasnya melihat punggung gadis barusan yang perlahan tak terlihat lagi. "Maaf ya aku udah ganggu kalian berdua," ucap Harin penuh penyesalan.

Jaemin tersenyum. "Dia bukan pacar aku, ayo masuk," jelasnya yang langsung menarik tangan Harin memasuki rumahnya.

"Kayaknya kamu berharap banget aku pacaran sama dia." Jaemin tersenyum sinis langsung duduk di sofa.

Harin ikut duduk di samping Jaemin, ia tersentak dengan ucapan Jaemin barusan. "Maaf, aku nggak bermaksud."

Jaemin menghadap ke arah Harin dan menyandarkan sebelah kepalanya ke sofa, tangannya menarik kepala Harin juga agar sama-sama menyandar ke sofa dan mereka bertatapan dengan jarak begitu dekat. "Aku sayang kamu, Rin," ucapnya mengacak rambut Harin.

Gadis itu diam, tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku tahu selama di Seoul kamu habisin waktu kamu sama Jeno, kan?" tanya Jaemin lirih, menatap dalam mata jernih Harin.

"Maaf. Aku nggak maksud nyakitin kamu, di Seoul Jeno adalah Dokter yang nanganin kaki aku." Harin menggigit bibirnya, tak berani balas menatap Jaemin.

"Aku udah tau," jawab Jaemin cepat.

"Heh?" Harin tentu terkejut, matanya kini balas menatap Jaemin tak percaya.

Jaemin terkikik, merasa lucu tentang dirinya sendiri. "Rin, aku tunangan kamu. Di masa depan kita akan menjadi suami istri dan kamu akan lahirin anak-anak aku."

Entah, kata-kata Jaemin ambigu untuk Harin. Ada maksud tertentu Jaemin mengatakan hal demikian, pikir Harin kini.

Chu~ bahkan Jaemin dengan berani secara tiba-tiba mengecup bibir Harin pelan, dengan sedikit lumatan.

"Kamu nggak nolak saat aku cium dan aku peluk," ucap Jaemin, tatapannya semakin dalam.

"Na ...," lirih Harin dengan memejamkan matanya, satu tetes air mata berhasil mengalir. Hatinya merasakan teriris yang teramat. Harin tahu arah pembicaraan Jaemin. "Maafin aku," gumamnya terdengar menyakitkan.

"Aku masih belum bisa merebut hati kamu dari Jeno." Jaemin tersenyum sinis, "dan aku nggak yakin setelah kita nikah kamu bisa buka hati kamu buat aku."

"Na," lirih Harin lagi menggelengkan kepalanya.

"Sebelum ada hati lain yang terluka, sebelum kita membangun sebuah keluarga. Kita sudahi saja tentang kita." Harin semakin menggelengkan kepalanya mendengar kata itu keluar dari mulut Jaemin, bibirnya semakin terisak.
"Kamu bisa kembali sama Jeno dan aku akan mencoba mencari cinta yang lain."

"Nggak, Na. Kamu udah yang terbaik buat aku," isak Harin dengan suara tertahan.

"Tapi aku nggak bisa luluhin hati kamu," balas Jaemin datar, "jangan buat aku semakin terluka, jangan menangisi aku karena kamu kasihan sama aku."

Tangis Harin semakin pecah, ia serba salah sekarang ini, yang dikatakan Jaemin tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Ia sudah memantapkan dan meyakinkan hatinya bahwa ia memilih Jaemin karena ia mencintainya.

Perlahan Jaemin meraih tangan Harin, menggenggam dan mengecupnya sayang.

"Mungkin kamu memang ditakdirkan untuk tetap menjadi sahabatku, makasih untuk semua kenangan terindah kita," lirih Jaemin dengan senyuman hangat, dan ...

Mengakhirinya dengan mencium kening Harin dengan durasi sangat lama.

"Sekarang aku lepas, ya, cincin ini." Jaemin yang masih menggenggam tangan Harin kini beralih mengelus jari gadis itu dan sangat perlahan menyentuh cincin yang melingkar di jari Harin.

Harin ingin mencegah, tapi entah tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Membiarkan tangan Jaemin melepas cincin tunangan mereka yang kurang lebih tiga tahun melingkari jari mungilnya. Bekasnya sangat jelas terlihat, warna kulit bekas cincin itu tampak lebih putih.

"Sekarang giliran kamu yang lepas cincin di jariku." Jaemin masih bisa tersenyum hangat. Tapi, apa Harin bisa melakukannya? Ia dengan matanya yang sembab menatap Jaemin ragu.

Jaemin mengangguk dan mengacak rambut Harin. "Karena aku sayang kamu, Rin," gumamnya, "makanya aku lepasin kamu."

Kling~

Cincin yang Harin lepas dari jari Jaemin tiba-tiba jatuh dan menggelinding di lantai.

Jaemin tersenyum tipis karena itu. Ia berjongkok untuk meraih cincin itu di bawah meja.

"Jangan nangis lagi, ya." Jaemin mengacak rambut Harin lagi, "air mata kamu terlalu berharga, aku pengin liat kamu tersenyum entar di pelaminan sama Jeno."

"Jahat!" Harin memukul-mukul dada Jaemin, bibirnya sedikit mengerucut menatap Jaemin kesal.

"Kita nggak bakal kehilangan satu sama lain, karena kita saling memiliki sebagai sahabat. Janji, ya?" Jaemin tersenyum dan melingkarkan jari kelingkingnya dengan kelingking Harin.

"Ya udah kamu mau pulang? Aku anterin. Sekalian aku mau ngomong sama Bunda Jiyeon tentang kita."

Harin tak menjawab apa-apa, ia hanya mengangguk sambil mengusap-usap matanya yang sembab karena air mata. Biarlah mereka berakhir seperti ini, Jaemin benar ... sebelum ada hati lain lagi yang terluka.

Flashback Off~

tbc

Ini adil gak sih 😭😭😭

BIG NO !! - Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang