[#2] 74: nilai

151 20 6
                                    










;








Dua hari setelah Woojin melaksanakan ujian akhir. Kelas kosong hingga bel pulang berdering. Jam pertama hanya di pakai untuk membagikan hasil ujian, yang harus kembali di serahkan ke sekolah setelah di tanda tangani orang tua.

Sejak hasil ujiannya di bagikan, Woojin tidak bisa tenang. Pasal nya dua dari sepuluh mata pelajaran miliknya bernilai rendah. Woojin tidak mau ayahnya kecewa, tapi dia pun sudah berusaha.

Woojin langsung masuk kedalam kamarnya setelah menjemput si kembar di daycare. Meninggalkan si kembar di bawah dengan nasi padang yang dia beli dalam perjalanan pulang tadi.

Di kamar, Woojin mengambil lembar kertas hasil ujian nya itu, menatapi satu satu hasil nilainya. Woojin akui, dirinya tidak pandai dalam bidang akademik. Hasil nilainya sebagian besar pas dengan Kriteria Ketuntasan Minimal sekolahnya. Dan hanya dua sampai tiga pelajaran yang sekiranya mendapat hasil yang cukup bagus. Woojin menggigit bibir bawahnya, nilai matematika nya bahkan tidak sampai menginjak angka lima puluh dan nilai ilmu pengetahuan sosialnya hanya mencapai angka tiga puluh delapan.

Woojin mengepal tangannya di atas meja belajar dan memukul kesal meja belajarnya. Ayahnya itu salah satu dosen di Universitas ternama, juga memiliki tambahan nama sebagai gelar yang berhasil beliau raih pada masa itu. Sarjana Hukum. Mengapa dirinya justru membuat malu dengan nilai tak pantas ini. Woojin ingin sekali merobek lembar kertas di hadapannya jika tidak mengingat kertas itu harus kembali di kumpulkan.

"Mas". Pintu kamarnya dibuka sedikit dan muncul kepala adik bungsunya, "ayo makan, Yoo lapar."

Woojin menghela napas pasrah. Persetan dengan kemarahan ayahnya nanti. Woojin meletakan kertas itu di atas meja dan segera berganti pakaian untuk menemani kedua adiknya makan siang.

;

Selesai mengajar, Yoongi mampir ke toko bunga terdekat dan membeli lily putih cantik sebelum berkunjung ke rumah mendiang istrinya. Sudah hampir seminggu Yoongi tidak menemuinya karena sibuk mengoreksi nilai-nilai mahasiswanya. Rasa rindu sudah sangat tertumpuk di dada, hingga membuat dirinya sedikit sesak.

Berjongkok di samping pusara sang istri dan tersenyum manis seraya meletakan bunga yang tadi dirinya beli di atas pusaranya.

"Aku datang, sayang. Maaf ya seminggu terakhir tidak mengunjungi mu. Tugas mahasiswa ku harus di koreksi sebelum mereka ujian besok. Kamu apa kabar? Aku baik disini. Anak-anak juga baik. Bulan depan si kembar sudah kelas satu. Woojin akan naik kelas delapan. Sudah besar mereka, tapi belum bisa aku tinggal. Paling tidak, aku ingin penuhi kemauan mu dengan uang tabungan kita itu. Aku ingin lihat Woojin wisuda. Semoga anaknya mau diterbangkan ke Amerika sana."

Sesi perbincangan Yoongi dengan pusara istrinya terus berlanjut hingga tanpa sadar  senja mulai menyapa. Merasa puas berkeluh kesah, Yoongi bangkit dan pamit untuk segera pulang karena ketiga anaknya menunggu.

Sampai dirumah tepat pukul enam, lalu melihat Woojin mencoret kertas dengan sederet angka dan rumus yang masih belum terlalu diingatnya. Sedangkan si kembar tengah berlarian sana sini, dan sangat berisik. Membuat Woojin membenturkan keningnya pada meja didepannya perlahan.

Yoongi yang melihat segera mendekat setelah melepas sepatunya. Duduk di sofa belakang Woojin dan dengan sengaja meletakan bantal sofa di hadapan Woojin, hingga kening Woojin tidak dapat membentur meja lagi. Woojin yang menyadari hal itu segera menoleh, menatap Yoongi yang tengah melepas kemejanya, menyisahkan kaos putih tipis favoritnya.

"Kenapa?"

Woojin menghela napas, menempelkan keningnya pada permukaan bantal dan mengeluarkan ponsel hitamnya. Meletakkan nya di meja dan mendorong pelan benda pipih itu.

[#2] 𝗠𝗥. 𝗦𝗧𝗜𝗙𝗙 | myg.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang