Mimpi buruk kembali merundung malam Woojin. Hingga anak itu kini terbangun dari tidurnya tepat tengah malam. Badan nya terasa panas tapi dia kedinginan. Penyakit yang selalu datang setelah dirinya terlalu lelah beraktivitas seharian. Hidung tersumbat serta pening yang menjalar membuat Woojin tidak berani bangkit dari tempat ternyaman nya. Tangannya hanya mampu memeluk guling dengan mata yang kembali berusaha mencoba untuk tertidur. Tapi nihil.
Keringat dingin mulai membasahi kening bahkan piyama yang kini dikenakan. Woojin menyibak selimut tebalnya dan meringkuk karena hawa dingin dari pendingin ruangan seolah langsung menusuk kulit putih yang hanya di lapisi piyama tipis khas musim panas.
Gertakan gigi nya mulai terdengar halus karena rasa dingin pada tubuhnya semakin membuat tubuhnya membeku. Tangan bergetarnya kini di arahkan untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Mencari kata ayah dan menelponnya. Persetan dengan fakta bahwa ayahnya sedang marah karena Woojin sengaja hujan-hujanan siang tadi, dan sedikit nakal dengan ikut tawuran kecil dengan sekolah sebelah.
Panggilan nya dijawab namun Yoongi enggan bersuara. Tiga detik pertama Woojin diam menunggu suara ayahnya. Tapi hanya hening yang menyambut. Karena merasa kakinya mulai sedingin es, Woojin total tidak peduli dengan amarah ayahnya nanti.
"Ayah.. maaf."
"Kenapa?"
"Dingin, ayah. Dingin sekali. Minta tolong matikan ac, boleh? Woojin tidak kuat bangun."
Sambungan telpon nya dimatikan dari sebrang sana, membuat Woojin menghela napas pelan. Bibir tipisnya mengering hingga tenggorokan nya. Memeluk gulingnya lebih erat demi mendapat kehangatan menjadi pilihan. Hingga Yoongi datang, membuka pintu kamar dan menyalakan lampu utama.
Melihat sulungnya yang sudah meringkuk kedinginan lantas membuat tangan Yoongi dengan cepat meraih remot dan mematikan pendingin ruangan kamar sulungnya. Meletakkan nya kembali dengan rapi dan menghampiri Woojin yang mulai pucat pasih dibalik gulingnya.
"Tadi malam makan tidak?" Woojin menggeleng pelan dengan mata yang berusaha tidak menabrak manik tajam ayahnya. Hanya berani menunduk sambil memainkan pucuk guling nya.
"Bagus." Sarkas yang lebih tua disertai kekehan pelan dan tangan kekarnya yang dilipat di dadanya, "kenapa?"
"Takut. Ayah marah tadi."
"So, do you think i wouldn't mad at you if you woke me up in the midnight?"
Woojin hanya diam. Menggigit kuat bibir bawahnya masih sambil memainkan pucuk gulingnya.
Yoongi menghela napas kasar. Lalu melangkah keluar, "bangun, makan dulu."
Woojin yang niat hati ingin menolak jadi urung karena perutnya setuju. Dengan tumpuan kedua tangan, Woojin berusaha bangkit. Duduk bersandar pada headbed dengan tangan yang terus meremat rambut tebalnya. Pening di kepala nya tak serta merta hilang, justru semakin menjadi. Woojin sesekali meringis ketika tangan mengepalnya refleks memukul kepalanya demi meminimalisir rasa pening. Namun hal itu justru membuat peningnya bercampur dengan pandangan yang sedikit menggelap.
"Don't do it, Woojin." Yoongi masuk kembali dengan nampan berisi sepiring makanan dan segelas air. Saat nampan kayu itu di letakan pada nakasnya, Woojin dapat melihat beberapa butir obat di sana. Seolah mengejek, karena tau Woojin tidak suka mereka.
"Kenapa pukuli kepala?"
"Pusing"
"Diobati bukan dipukuli. Makan dulu, baru minum obat nya."
Woojin mengangguk pelan dan mengambil piringnya. Memakan pelan nasi dengan telur hangat dan kecap saat Yoongi pergi dari kamarnya. Di suapan ke lima, perut yang awalnya meminta untuk di isi banyak justru berkhianat. Kini dengan jahatnya membuat Woojin mual sekali. Lantas dirinya pergi ke kamar mandi dan mengeluarkan makanan dari dalam perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[#2] 𝗠𝗥. 𝗦𝗧𝗜𝗙𝗙 | myg.
أدب الهواة[BAHASA] [Minim konflik || Family] Siapa yang tau jodoh, rejeki dan maut kalau bukan tuhan. Only god. Sulit memang menyatukan dua insan yang berbeda. Bukan suatu hal yang mudah juga untuk membangun sebuah rumah tangga. Merasa bosan? Hal yg wajar...